Sejarah Kebudayaan Water Closet (WC)

Perubahan Makna Toilet/WC dari Tempat Defekasi Menjadi Wahana Ekspresi dalam Masyarakat Urban di Indonesia
Pendahuluan
Water Closet (WC) atau yang akrab kita sapa dengan toilet atau jamban adalah fasilitas sanitasi untuk tempat buang air besar dan kecil, tempat cuci tangan dan muka[1]. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toilet adalah peranti untuk berhias, seperti bedak, cermin, dan sikat rambut[2].
WC merupakan tempat yang tak asing lagi, tidak hanya pada masyarakat urban namun bagi masyarakat pedesaan. Kini WC adalah hal yang penting dimiliki oleh setiap rumah. Bahkan kini dijumpai satu rumah memiliki lebih dari satu WC, dalam sehari tak ada seorangpun yang mampu melewati harinya tanpa mengunjungi WC. Karena sejatinya setiap manusia pasti melakukan defekasi/buang hajat. Ini menandakan betapa pentingnya tempat yang bernama WC ini.
Sejarah WC/toilet
WC pertama kali dikenal di Yunani pada tahun 2000 SM tepatnya di Knossos, Pulau Kreta[3]. Pada tahun 1596 Sir John Harington yang dikenal sebagai Bapak WC, menemukan toilet siram (flushing toilet) yang diberi nama Ajax[4]. Selanjutnya, toilet tidak diperkenalkan sekitar 200 tahun, pada abad kegelapan toilet tidak menjadi tempat yang menyenangkan[5]. Selanjutnya semakin banyak penemuan dan pengembangan bagi WC/toilet.
Sejarah toilet di Indonesia, tahun 1850 orang-orang kolonial menggunakan alat-alat kebersihan seperti sapu tangan, wastafel keramik dan toilet di Hindia Belanda, namun hanya tersebar di kalangan kelas sosial orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda sangat menjunjung kebersihan. Bahkan mereka bersemboyan “that dirt and moral failing go together. The ideal home and its occupants are neat and clean; human weakness takes place in scenes of domestic slovenliness[6]. Betapa orang-orang Belanda tidak menyukai ‘kotor’, karena percaya kegagalan akan pergi bersama sesuatu yang kotor. Meski tahun 1940 sudah ada WC duduk (di temukan di Ngawi), di tahun 2000an masyarakat Indonesia baru mulai menggunakan WC/toilet duduk secara komersial, ditahun 2010an mulai digalakan penggunaan toilet duduk di Indonesia.
Dari Tempat Defekasi menjadi Wahana Ekspresi
Toilet merupakan tempat yang dikenal sebagai tempat defekasi/buang hajat. Namun nampaknya sekarang toilet telah mengalami perubahan makna terutama pada masyarakat urban di Indonesia. Toilet yang kini dapat dijumpai di semua tempat umum, telah mengalami perubahan makna semiotik[7]. Dulu seseorang di WC/toilet hanya terbatas pada kegiatan defekasi, namun sekarang seseorang dapat menggunakan WC/toilet mulai dari kegiatan defekasi, memakai make-up, cuci muka, atau sekedar mencuci tangan dan bercermin merapikan diri. Seringkali dijumpai orang yang menggosip, merenung, membaca, menyanyi, bermain handpone bahkan berfoto selfie di WC/toilet. Saya bahkan pernah menjumpai seseorang mahasiswi tengah selesai menangis ketika keluar dari toilet IDB II lantai 8 UNJ. Seseorang melakukan berbagai ekspresi di WC/toilet karena mereka merasa toilet sebagai tempat privasi atau ruang personal. Ruang personal diartikan sebagai ruang minimum yang dibutuhkan organisme untuk merasa bebas dari ancaman fisik maupun mental[8]. Mengapa dahulu orang-orang Indonesia cenderung kurang memanfaatkan toilet sebagai tempat ekspresi? Ini dimungkinkan karena toilet di Indonesia masih berupa sungai, tanah ataupun semak-semak yang notabene adalah tempat defekasi berjamaah, maka mereka tidak menjadikan toilet sebagai ruang personal tempat mereka dapat melakukan ekspresi.
Kesimpulan
WC/toilet yang dikenal sebagai tempat buang hajat/defekasi kini mengalami perubahan makna. Tidak hanya sebagai tempat defekasi, namun toilet kini menjadi tempat ekspresi. Seseorang akan melakukan ekspresi di toilet karena merasa toilet sebagai ruang personal yang membuat mereka bebas dari ancaman fisik maupun mental. Dulu orang tidak menggunakan toilet sebagai ruang personal karena dulu Indonesia lebih umum mengenal sungai, tanah dan semak sebagai tempat buang hajat/defekasi. Yang biasanya hanya digunakan sebagai tempat defekasi, itupun biasanya berjamaah bukan bergantian seperti yang saat ini kita kenal.

Referensi:
Andhini, Adriana. Toilet sebagai Ruang Sosiofugal. Depok: Skripsi Universitas Indonesia, 2012.
Baxter, Joseph. The Essencial Bathroom Book. Chichester, West Sussex: Summer Publisher Ltd, 2004.
Phillips, Dee, etc. Just The Fact: Invention & Discoveries. Ohio: ticktock Entertainment Ltd, 2005.
Porteous, J. Douglas. Environment & Behavior, Planning and Everday Urban Life. Reading: Addison-Wesley publishing Company, 1997.
Prakoso, Sugeng. Teknologi dan Perubahan Sosial: Suatu Antropologi Teknologi Mengenai Jala-Jala Listrik PLN. n.d.
Taylor, Kees Van Dijk dan Jean Gelman. Cleanliness and Culture Indonesian Historie. Leiden: KITLV Press, 2001.
 Pengertian toilet menurut Perpustakaan Kementrian Pekerjaan Umum. (http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=1) diakses pada 13 Mei 2015, 1:22 AM
Pengertian toilet menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/toilet) diakses pada 14 Mei 2015, 10:43 PM






[1] Pengertian toilet menurut Perpustakaan Kementrian Pekerjaan Umum. (http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=1) diakses pada 13 Mei 2015, 1:22 AM
[2] Pengertian toilet menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/toilet) diakses pada 14 Mei 2015, 10:43 PM
[3] Adriana Andhini, Skripsi Universitas Indonesia, “Toilet sebagai Ruang Sosiofugal”, 2012, Depok. Hlm. 8
[4] Phillips, Dee, etc. 2005,  Just The Fact: Invention & Discoveries. Ohio : ticktock Entertainment Ltd, hlm. 34
[5] Joseph Baxter, The Essencial Bathroom Book, (cet.2, 2004, Chichester, West Sussex: Summer Publisher Ltd, hlm. 24
[6] Kees Van Dijk dan Jean  Gelman Taylor, Cleanliness and Culture Indonesian Historie,(2001, Leiden: KITLV Press), hlm. 43
[7] Teori semiotika menyatakan bahwa setiap artefak material tidak hanya memiliki kegunaan tertentu yang fungsional sifatnya.Tetapi, artefak material ini juga dapat dimasuki oleh makna lain selain makna fungsionalnya. (Lihat paper Sugeng Prakoso, Teknologi dan Perubahan Sosial: Suatu Antropologi Teknologi Mengenai Jala-Jala Listrik PLN. hlm. 5)
[8] Porteous, J. Douglas. Environment & Behavior, Planning and Everday Urban Life, (1997, Reading: Addison-Wesley publishing Company), hlm. 28

Komentar

Postingan Populer