DI MANA ADA CINTA, DI SANA TUHAN ADA
[REVIEW BUKU]
Judul buku : Dimana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Pengarang : Leo Tolstoy
Buku
ini merupakan kumpulan cerita pendek yang mewakili sebuah pesan moral mengenai
cara kita memandang hidup dengan menempatkan Tuhan di setiap nafasnya. Buku ini
berisikan 5 kisah yang diceritakan sastrawan ternama Rusia, Leo Tolstoy, dengan
menggambarkan latar dan penokohan yang begitu kuat. Kisah pertama, diawali
dengan cerita Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada; Tuhan Tahu, Tapi Menunggu;
Tiga Pertama; Majikan dan Pelayan; dan Dua Lelaki Tua. Disini kita akan
menemukan sebuah makna universal ajaran agama, yang disebut orang-orang sebagai
agama cinta.
Di
Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
Kisah diawali
dari rumah bawah tanah yang hanya memiliki satu jendela menghadap ke atas di
sebuah sebuah sudut kota di Rusia. Adalah Martin Avdeich, seorang pengrajin
sepatu yang setia dan baik hati. Namun, ketika menjelang usia tuanya Martin hampir
berputus asa terhadap hidupnya. Istri dan anaknya telah meninggalkan Martin
hingga ia menjadi sebatang kara. Martin bahkan menginginkan kematian segera
menghampiri dirinya.
Kehidupan
Martin segera berubah ketika ia bertemu dengan seorang lelaki yang menyarankannya
agar jangan menyerah dan seharusnya ia hidup untuk Tuhan. Mulailah Martin
membaca dan mempelajari Alkitab dengan sepenuh hati. Hingga suatu ketika dalam
mimpinya ia mendengar suara “Martin, Lihatlah ke jalan besok. Aku akan
datang!”. Martin berpikir jika itu merupakan suara Tuhan, dan memutuskan untuk
menunggu-Nya lewat dijalan.
Ketika
ia menunggu, ia malah mendapati seorang penjaga rumah bernama Stepanich yang
tengah melintas ditengah dinginnya udara musim salju Rusia. Martin memutuskan
untuk memberinya secangkir teh. Stepanichpun menyantap teh buatan Martin dan
mendengarkan cerita Martin yang ia sedang menunggu kedatangan Kristus. Stepanich
yang merupakan lelaki yang cukup tua, mudah tergugah hatinya hingga ia
meneteskan air mata ketika mendengar martin bercerita bagaimana perjumpaan
hatinya dengan Tuhan. Akhirnya Stepanichpun pamit undur diri setelah
menghabiskan teh nya dan membuat tanda salib di dadanya.
Kejadian
ini berlangsung pada beberapa orang yang dijumpai di jalan. Seperti seorang perempuan
tua dan anak bayinya, dan seorang nenek tua yang sedang memarahi anak kecil
yang mencuri apelnya. Martin menggunakan kebaikan hatinya untuk menolong mereka
semua dengan tetap berharap kedatangan Kristus, seperti yang telah dijanjikan.
Pada
akhirnya Martin kembali berjumpa dengan suara itu dengan melihat wajah
Stepanich, wajah Ibu dan bayinya, wajah nenek dan anak kecil yang membawa apel.
Dan kini Martin mengerti jika Kristus telah datang bersama cintanya.
Tuhan
Tahu, tapi Menunggu
Kisah
kedua merupakan kisah seorang saudagar muda bernama Ivan Dimitrich Aksionov. Aksionov
berkesempatan untuk melakukan perjalanan jauh, namun dilarang oleh istrinya
karena sebelum keberangkatan suaminya, ia bermimpi berjumpa dengan suaminya
dengan rambut yang telah memutih. Istrinya mengira ini pertanda tidak baik. Namun,
Ivan tetap melanjutkan perjalanannya.
Ditengah
perjalanan, Aksionov berhenti di sebuah kedai dan menginap di sebuah penginapan
bersama temannya. Setelah melanjutkan perjalanannya, Aksionov ternyata dituduh
membunuh rekan sekamarnya. Meski tak melakukan pembunuhan tersebut, Aksionov
tak dapat mengelak karena ditemukan sebuah pisau berdarah di tasnya sewaktu
diperiksa opsir. Meski istri dan keluarganya telah memohon petisi kepada Tsar
untuk keringanan hukumannya, namun hasilnya nihil.
Kemudian
Aksionov dipenjara dan bekerja di tambang selama dua puluh enam tahun. Hingga
rambutnya menjadi seputih kapas, jenggotnya telah panjang, badannya telah
membungkuk, bicaranya sedikit dan kerjanya hanya sembahyang. Dipenjara ia
belajar membuat sepatu, uang dari menjual sepatu ia belikan buku-buku agama. Ia
menjadi disukai semua orang di penjara, termasuk pejabat-pejabat di penjara. Aksionov
menjadi ikhlas di penjara hingga ia mendengar kabar kematian keluarganya.
Suatu
ketika ia bertemu dengan narapidana baru yang bernama Makar, ternyata Makar
adalah pelaku pembunuhan rekan sekamarnya tempo dulu. Aksionov menjadi marah
dibuatnya, namun ia mampu meredamnya. Bahkan ketika Makar berusaha menggali
tanah untuk meloloskan diri dari penjara, dan Aksionov melihatnya dan tidak
memberitahukannya ke opsir. Sehingga sadarlah hati Makar, akan kebaikan hati
Aksionov. Akhirnya Makar mengakui kesalahannya, dan opsirpun berniat
membebaskan Aksionov dari hukuman penjara. Namun sebelum Aksionov dibebaskan
dari penjara, ia telah meninggal.
Tiga
Pertapa
Seorang
uskup berlayar menuju sebuah biara yang jauh, dengan menggunakan kapan pesiar
bersama peziarah lainnya. Ditegah perjalanan, uskup mendengarkan cerita bahwa
ditengah hamparan lautan yang luas terdapat sebuah pulau yang tak bernama yang
dihuni tiga pertapa.
Karena
uskup penasaran ingin bertemu dengan pertapa itu, maka kapalpun mendekati kapal
itu. Sesampainya di pulau itu, uskup pun bertemu dengan ketiga pertapa ini dan
memperhatikan cara pertapa ini berdoa. Lalu uskup itu menceritakan tentang pada
para pertapa bagaimana Tuhan memberi wahyukepada manusia. Ia bercerita kepada
mereka tentang Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Uskup juga mengajarkan
bagaimana cara beribadah kepada Tuhan. Uskup mengajarinya dengan cara
berulang-ulang dan berkali-kali.
Pada
saat meninggalkan pulau, tiga pertapa mengucapkan terima kasih kepada uskup.
Saat kapal meninggalkan pulau, dari kejauhan terlihat secercah cahaya yang yang
mendekat. Ternyata cahaya tersebut merupakan tiga pertapa yang berjalan di atas
air. Pertapa ingin menanyakan ajaran uskup sedikit terlupa ketika pertapa
tengah menghafal.
Uskup
segera membuat tanda salib didadanya, segera meminta maaf dan meminta didoakan
untuk para pendosa di kapal yang sedang ditumpanginya. Sang uskup lalu
membungkuk dalam-dalam di hadapan ketiga orang tua itu. Mereka berbalik dan
kembali melintasi laut. Hingga terbit fajar, secercah cahaya bersinar-sinar di
titik mereka lenyap dari pandangan.
Majikan
dan Pelayan
Abad kesembilan
belas merupakan masa berjayanya feodalisme di Rusia. Setiap orang
berlomba-lomba untuk memperluas tanah perkebunan dan memperbanyak pelayan
dengan mengharapkan kekayaan yang sebesar-besarnya. Adalah Vasili Andreyevich,
seorang pedagang yang selalu disibukkan dengan pekerjaan dan relasi, sekalipun
pada malam natal. Disaat jemaat sedang melangsungkan perayaan di gereja,
pekerjaan menuntut Vasili untuk mengunjungi seorang tuan tanah untuk membeli
sejumlah kayu yang dirundingkan di Hutan Goryachkin. Iapun berangkat dengan
mengajak Nikita yang begitu ahli dalam bidang apapun. Karena ia sejatinya
merupakan muzhik (sebutan petani di
Rusia) yang masih tergoda dengan mabuk-mabukkan, beberapa kali ia dipecat
majikannya. Vasili mempertahankannya karena Nikita selain berpotensi dan
memiliki rasa sayang terhadap binatangnya ia juga dibayar dengan upah yang
begitu rendah.
Sepanjang perjalanan dengan kereta kuda, Vasilli terus
membayangkan harta yang akan menjadi miliknya, ia terus saja menghitung dan
menghitung kekayaannya yang semakin hari semakin bertambah. Namun, perjalanan
menuju Hutan Goryachkin tidaklah semulus yang dibayangkan. Perjalanan mereka
banyak diliputi berbagai halangan, salah satunya badai salju di Rusia yang
sangat mematikan. Salju yang menutupi jalan hingga tak terlihat bedanya antara
bahu jalan dan semak-semak, membuat beberapa kali kereta kuda harus terjebak
dalam jurang. Sesekali pernah mereka beristirahat dalam suatu rumah untuk
sejenak menghangatkan diri. Namun, karena Vasili menganggap waktu adalah uang
ia selalu meminta Nikita bergegas melanjutkan perjalanan.
Meski dengan berat hati Nikita terus memacu kudanya yang
semakin tak berdaya melawan tebalnya salju di jalanan. Namun berulang kali
mereka kehilangan jalan dan masuk dalam semak-semak bahkan terjerembab dalam
jurang. Perjalanan menjadi terasa sangat panjang dengan diwarnai berbagai
perdebatan Vasili dan Nikita mengenai penentuan arah jalan, dan keputusan dalam
setiap langkah perjalanan. Sampai suatu ketika, dengan keadaan yang tidak
memungkinkan untuk berjalan dan meneruskan perjalanan, Vasili dan Nikita
memutuskan untuk bermalam ditengah terpaan salju.
Vasili terus memikirkan hari akan segera pagi, karena
waktu adalah uang. Ia kemudian berpokir jika Nikita hanya menyusahkannya saja,
maka ia memutuskan untuk meninggalkan Nikita dan kereta kudanya, sementara ia
akan pergi bersama kudanya. Nikita tidak bergerak dalam kereta, meskipun ia
tahu apa yang terjadi di luar sana. Ia teringat dosa-dosanya yang begitu kelam
dan ia begitu ikhlas jika ia harus kembali pada Tuhan saat itu juga. Ia terus
mengingat Tuhan dan dosa-dosa masa lalunya.
Sementara itu, Vasili menghadapi malam salju yang amat
mengerikan baginya. Ia begitu takut dengan kematian, terlebih saat badai
menghantamnya dan memaksanya terjerembab ke dalam jurang untuk kesekian
kalinya. Sekuat tenaga memaksanya terus berjalan hingga ia sampai pada kereta
kuda Nikita. Vasilli menjumpai Nikita tengah setengah membeku, pikirannya
kembali menjadi ngeri, ngeri akan kematian dan air matanya meleleh. Ia merasa
menjadi makhluk yang lemah. Badai salju ini membuat hatinya begitu dekat dengan
Nikita hingga takut kehilangannya.
Kini bayang-bayang ketakutannya perlahan menghilang
hingga nyawanya menghilang bertemankan kebekuan. Vasili meninggal dalam
perjalanan, dengan mengerti tujuan hidup bukanlah semata-mata karena uang.
Nikita hidup dan menjalani hari tua bersama keluarganya dengan keikhlasan hati.
Ia menutup mata dengan bahagia di tengah keluarganya di harinya yang amat
senja.
Dua
Lelaki Tua
Efim
Tarasitch Shevelef dan Elisha Bodrof merupakan petani yang masih sehat, akan
melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk memuja Tuhan. Sebelum perjalanan mereka
telah mempersiapkan berbagai kebutuhan selama di perjalanan mulai dari
menyediakan kue, membuat pundi-pundi, membeli sepatu bot baru dan menyediakan
sepatu cadangan.
Setelah
melakukan perjalanan selama lima minggu, sampailah mereka di negeri Kholiki.
Mereka disambut layaknya musafir lain yang disedikan penginapan secara
cuma-cuma. Namun, tidak untuk makanan, sebab daerah mereka sedang dilanda paceklik,
mereka hidup terjerat kemiskinan dan kelapran yang amat sangat. Tiada tanaman
yang dapat tumbuh ditempat itu, dan orang-orang yang menempati tempat tersebut
merupakan masyarakat yang miskin. Pada saat itu juga, Elisha merasa haus dan
memutuskan untuk meminta minum dari sebuah gubuk yang terdapat ditempat itu.
Sedang Efim dianjurkan untuk melanjutkan perjalanannya hingga Elisha menyusul.
Ketika
sampai di gubuk tempat Elisha meminta seteguk minum, keadaan mengenaskan suatu
keluarga yang tengah sakit-sakitan dan dilanda kelaparan. Elisha tergerak
hatinya untuk menolong keluarga tersebut, ia membuat perubahan yang sangat
signifikan pada keluarga tersebut. Ia menggunakan uang perbekalannya untuk
mengembalikan hidup keluarga tersebut, seperti membeli alat-alat pertanian,
menebus tanah yang digadaikan pada tuan tanah hingga membelikan hewan ternak.
Ketika Elisha merasa tugasnya telah selesai, ia memutuskan untuk meninggalkan
keluarga petani tersebut. Namun, karena uangnya telah habis ia memutuskan untuk
pulang tanpa melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem.
Sedang
Efim yang sebenarnya tengah menunggu Elisha yang tak kunjung menyusulnya,
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan harapan dapat bertemu Elisha di
Yerusalem. Efim tidak menjumpai Elisha lagi, hingga pada saat-saat sembahyang
di Yerusalem. Efim justru melihat Elisha amat bercahaya dan bahagia memanjatkan
doa pada Tuhan. Namun, ketika ia mencarinya setelah selesai ibadah ia tak
kunjung menemuinya. Pertanyaan besarpun terus meliputi hati Efim hingga ia
dalam perjalanan pulang dan melewati gubuk tempat Elisha menghilang.
Efim
segera disambut dan dijamu layaknya seorang tamu agung. Kemudian keluarga
petani tersebut menceritakan kejadian Elisha, seorang musafir yang berniat
meminta minum justru memberikan kehidupan kembali. Membuat keluarga petani
kembali mengingat bahwa hidup adalah untuk Tuhan.
Kini
Efim mengerti mengapa ia melihat Elisha di Yerusalem beribadah dengan begitu
bercahaya dan berbahagia. Karena pasti ibadahnya yang sesungguhnya telah
diterima oleh Tuhan.
Tangerang, 20 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar