Di Balik Sebuah Cerita Harry


Jika sejarah adalah keabadian, maka menuliskannya adalah mengabdi pada keabadian…
            Semerbak mekar kamboja menyerbu halus bulu hidung, dibarengi semburat sinar langit yang menerobos gemawan awan hingga menyengat legam kulit. Biru yang merajai angkasa segera beranjak jingga menggelora disisi barat. Sementara matahari masih sibuk menyelesaikan sisa edarnya. Sebuah gundukan tanah nampak semakin sederhana dengan  batu nisan tak bertuliskan nama. Rerumputan liar mulai menumbuhinya, seolah menjawab usia gundukan tersebut. Sementara disisi kanan gundukan tumbuh sebuah pohon pisang dengan dua tunasnya yang masih bayi, dedaunan pisang yang lebat cukup membuat rindang gundukan dan sekitarnya.  Sementara, jarak sepuluh meter tumbuh pepohonan bambu jenis wulung yang ‘membubuh’ kerindangan pohon pisang. Semakin rindang saja gundukan itu.
            “Aamiin” Ucap bersamaan sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ritual itu seolah mengakhiri doa yang ditujukan untuk seseorang dibawah gundukan. Sementara aku masih tersedan-sedan, larut dalam lantunan indah yang dibacakan salah seorang teman. Hingga seorang teman lainnya menyikutku menyadarkan bahwa ritual doa telah selesai. “Indah sekali doamu Eko, belum pernah aku mendengar rangkaian kata doa seindah itu. Aku yakin Tuhanpun akan memuji kata-kata doa yang kau untai. Padahal kau tak mengenal dia yang berada dibawah gundukan itu, ya akulah yang mengenal baik dia yang berada dibawah gundukan.” Ujarku pada diri sendiri .
“Eko, doamu begitu indah, maukah kau mendoa demikian ketika aku mati nanti?” Kataku itu rasanya urung keluar, tersendat ditenggorokan dan terlumat kembali oleh lidah yang kelu hingga tak keluar sepatah katapun. Eko memang lelaki baik, dia mendoa begitu baik bahkan ketika Eko tak mengenal siapa yang dia doakan. Ya.. akulah yang mengenal baik siapa yang nama dalam doa itu.
***
            “Wingardium Leviosa!” Kata Hermione sembari mengayunkan tongkat sihirnya dan mengarahkan sebuah bulu angsa yang digunakan untuk menorehkan tinta. Bulu angsapun terbang dengan ajaibnya mengikuti arah tongkat sihir Hermione. Ya, entah ke berapa puluh kali film Harry Potter yang diangkat dari sebuah novel karya JK Rowling diputar di sebuah stasiun televisi swasta. Entah berapa puluh kali pula aku telah menontonnya, meski kadang tak sepenuhnya film itu kutonton. Film yang diperankan oleh Daniel Radcliffe, Rupert Grint dan Emma Watson ini selalu mengingatkanku pada seseorang. Ya, seseorang yang masih teringat baik dalam memoriku. Selalu saja, aku kembali larut dalam sebuah… dan waktupun diputar mundur…

***
            “Kau takkan bisa memejamkan mata dengan tenang, kau akan selalu membayangkan mengayunkan tongkat sihir dan menaiki sebuah sapu lidi yang bisa terbang, wuuuuusssh!” Tangan kurusnya mengikuti arah mulutnya yang memonyong, bergerak mengerupai pesawat yang lepas landas dan melesat ke langit. Aku segera memicingkan mataku, mengerutkan dahi kuat-kuat sebagai respon yang terlihat teramat flat dari seorang teman yang tidak tertarik dengan apa yang sedang dibicarakan. “Kau harus membaca Harry Potter, Arum.” Sungguh ia tak peduli dengan respon temannya itu-Arum. “Nanti ya, nunggu perpustakan sekolah sanggup membelinya.” Kataku senyum puas, Ningsih segera melihat kemungkinan yang cukup sulit dari syarat yang aku berikan.
            Memang cukup sulit bagi kami yang bersekolah label standar nasional tapi letaknya di antah berantah pinggiran kota untuk megupdate buku terbaru, apalagi buku terjemahan selevel Harry Potter yang tebalnya segede gaban. Beruntunglah Ningsih yang mempunyai kaka bersekolah di kota, ia bisa nebeng update buku bacaan dari buku yang dipinjam kakanya. Kalau aku mah, membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka era 60-an juga tak kalah menarik-karena memang aku menyukai buku-buku lawas. “Selera lawas, muka pun lawas.” Begitu teman-teman sering mencekokiku, aku tak perduli. Edan memang, disaat aku masih membaca terbitan Balai Pustaka, sedang yang lainnya membaca novel Twenleet ala ala anak remaja, Ningsih telah hatam membaca Harry Potter yang tebal kertasnya, lebih tebal dari kasur simbok. Bagiku dulu itu edan.
            Rasanya memang tak pernah bosan sebangku dengan Ningsih hingga aku bertahan selama 2 tahun lebih tak berganti pasangan bangku. Selain ia selalu sabar mengajariku pelajaran Bahasa Inggris dan berbagai ilmu hitung yang setengah mati sulit ku ikuti, ia juga manager uang jajanku. Karena uang saku kita jumlahnya selalu sama, maka segala sesuatu yang kita beli selalupula sama. “Jadi, kalau makanan ini beracun, kita akan keracunan sama-sama. Haha.” Katanya pada suatu ketika sambil renyah mengunyah sepotong keripik pedas yang entah terbuat dari apa. Terlihat kompak disegala hal? Kukira tidak sama sekali. Selain alasan diatas, kita amat berbeda selera, persepsi, pandangan dan watak tentu saja. Inipulalah yang seringkali menimbulkan berbagai pertikaian antara kita. Kok bisa akrab sampai 2 tahun lebih? Ah, Tuhan Maha Baik, tak semua pertanyaan harus dijawab dengan logika bahkan dengan definisi sekalipun.
            Aku sempat menganggap suatu ketika dia adalah dukun sesungguhnya, karena benar ucapannya, aku keracunan! Leherku bengkak sebesar buah mangga masak yang siap dirujak, begitu menegang hingga seluruh tubuhku demam menegang. Aku menangis tiada henti, semakin memperparah ketegangan si bengkakan. Berbagai ritual dilakukan simbok untuk menyembuhkanku, meracikan dedaunan yang diambil dari kebun, mengoleskan blao (sejenis pewarna pakaian berwarna biru), hingga air putih yang telah dijampi-jampi oleh Mbah Karma-sesepuh kampung kami. Hasilnya nihil, akhirnya aku dibawa kedokter berbekal uang celengan jago simbok yang terpaksa harus dipecahkan. Mengejutkan, setelah berobat ke dokter, buah mangga itu menjadi punya pasangan hidup. Aku merasa seperti malaikat ajalku telah tersenyum mendekatiku. “Ya Gusti, aku orang kecil, anaknya orang kecil, hidup di desa yang kecil. Tidakkah Engkau izinkan aku melakukan sesuatu yang besar sebelum buah-buahan dalam leherku mematikanku.” Doa yang sama yang terucap ketika aku berusia 6 tahun, tenggelam dalam sebuah sumur tua. Saat aku dikalahkan hukum fisika, ketika tak mampu menghitung keuntungan mekanik sebuah katrol, justru aku menjadi tumbal si katrol sebagai persembahan untuk si sumur. Miris, adikku yang belum bisa bicara, hanya menangis menganga-nganga melihat kakaknya melambai-lampai pada Tuhan.
***
Cakrawala terasa bersih, biru yang membebaskan mentari menyinar sesukanya. Namun, udara masih saja hangat menyelimuti negeri tropis ini. Tak heran jika Alfred Wallace berucapTerletak di garis khatulistiwa dan bermandikan air subtropis dari lautan tropis yang besar, wilayah ini menikmati iklim yang lebih seragam, lebih hangat dan lebih lembap dari bagian manapun di Bumi, serta dipenuhi dengan produksi alam yang tidak dikenal di tempat lain manapun.” Bersyukur benar hidup disini, sebab setiap pagi yang begitu mentari berselimut tersenyum merekah menyapa setiap bibir masyarakatnya.
Nampaknya biru kecerahan yang merajai langit, tak melukiskan hati manusia yang berbodong-bondong di pelataran rumah ini. Rumah sederhana dengan teras plester seluas lima senti meter dan dihiasi pot-pot kecil di kiri kanannya, pagi ini ramai dikunjungi orang. Warna gelap mendominasi kostum mereka, sebuah penggambaran turut berduka cita. Tidak banyak jerit tangis dalam kedukaan kali ini. Tergurat wajah ikhlas di sebagian  orang yang berkerumun, jelas terlihat rasa lega setelah menahan iba selama berbulan-bulan lamanya.
Ningsih akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya setelah bertarung melawan kanker kelenjar getah bening yang menyerang kerongkongannya selama berbulan-bulan. Hampir tak ada ucapan buruk tentangnya ketika ia pergi, nampaknya ia meninggalkan gading karena ia dikenal sebagai wanita yang baik. Aku masih saja sibuk dengan lamunanku, tak perduli semakin banyak orang berdatangan. Sungguh aku teringat, aku belum sempat berkata jujur padanya. Akupun teringat segala kenangan dan pikiranku menjadi kacau.
Aku ingat aku harus memeluknya di ruang UKS yang panas, tatkala dia memeluk lutut dalam tidur menahan goncangan dingin dalam tubuhnya. Sedang diluar sana terik tengah membakar lapangan basket tanpa pemain. Aku ingin mengucapkan sesuatu untuk menenangkannya, tapi apalah aku tak pandai berkata-kata. Aku hanya bisa memeluknya yang menahan dingin hingga pecah bongkahan bening dimata Ningsih. Aku ingat, ketika dikabarkan Ningsih tak lagi dapat menelan sesuatupun, dia memberiku pesan singkat yang tak beraturan. Aku masih bisa membacanya. Dia memintaku mengantarkan keripik upik buatan kang Daryo khas desaku. Maafkan aku yang tak cukup menabung hingga tak penuh satu kilo dapat kubeli, padahal aku menjanjikan satu kilo. Maafkan jika ku lebih mementingkan mengasah pedang dalam pertempuran tiga hari mempertaruhkan nasib 3 tahun, anak sekolah Indonesia hatam soal itu pasti, daripada mengantarkan keripik upik kerumah Ningsih. Ah, tiada guna aku menyesal sekarang. Aku telah mengikhlaskannya.
Hanya saja terkadang sedikit menggelitik. Jurusan kesehatan yang konon adalah salah satu jurusan tertua di Indonesia, karena pada zaman Hindia Belanda banyak wabah yang menguras kantong pemerintah Hindia Belanda untuk membayar dokter Belanda. Maka, didirikanlah Sekolah Dokter Djawa hingga kemudian menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Tapi, sampai saat ini masyarakat menengah kebawah masih saja belum merdeka dengan kesehatan. Dengar-dengar Ningsihpun harus menunda operasi hingga ia meregang nyawa karena masalah administrasi dan kurasa Ningsih bukan satu-satunya yang belum merdeka atas biaya kesehatan yang konon adalah salah satu jurusan tua di negeri ini.
***
Bunyi meraung-raung mesin tak kunjung usai, padahal jam tengah menunjukan pukul 23.00. “Ah, tak ada kata malam yang sunyi bagi kota ini.” Gerutuku diiringi gerumit tulisan kecil dilayar televise menandakan berakhirnya sebuah lakon film Harry Potter. Aku mematikan televisi dan beranjak memejamkan mata. “Ningsih, kau tau. Kau akan selalu abadi dalam catatan sejarah orang-orang yang mengenangmu. Lagi-lagi maafku, aku sungguh tak pandai merangkai kata doa untukmu, tapi kau tahu? Tuhan Maha Tahu.” Dan akupun terpejam.

Tangerang, 23 Agustus 2016
Persembahan kita untukmu yang selalu hidup dalam hati…






Komentar

Postingan Populer