Resensi Buku Kenangan tak Terucap Saya, Ayah dan Tragedi 1965
Judul Buku : Kenangan tak Terucap Saya, Ayah dan
Tragedi 1965
Pengarang : Nani Surrachman Sutojo
Penyunting : Imelda Bachtiar
Penyunting : Imelda Bachtiar
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2013
Jumlah Hal : xliv + 228 halaman
Buku Kenangan
tak Terucap Saya, Ayah dan Tragedi 1965 membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun
bagi Nani Surrachman Sutojo untuk menulisnya. Nani Surachman Sutojo wanita
dengan nama lahir Indra Ratnawati yang lahir di Yogyakarta pada 13 Mei 1950,
telah mengalami pergumulan nalar dan rasa yang terjadi sejak Tragedi 1965 atau
yang dulu akrab dikenal dengan Peristiwa G 30 S/PKI yang menjadi pemikirannya
dalam menulis buku tersebut.
Nani
merupakan anak kedua dari pasangan Sutojo Siswomihardjo dan Sri Rochjati.
Kakaknya Agus Widjojo dan adiknya Ari Wicaksono. Ayah dilahirkan di Kebumen dan
Ibunya dilahirkan di Bogor. Pada usia dua tahun Nani telah ditinggal ibunya
menghadap Yang Maha Kuasa, kemudian ayahnya Jendral Sutojo menikah lagi dengan
seorang perempuan Jawa menjelang keberangkatan Nani dan keluarga ke London
karena tugas ayahnya.
Nani sangat
dekat dengan ayahnya, ayahnya mengajarinya berfilsafat, disiplin, kejujuran dan
berbagai pegangan hidup melalui dialog akrab mereka yang dijadikan Nani
pegangan hidup, meski ketika ayahnya telah tiada. Pesan yang seringkali di
ucapkan Jenderal Sutojo kepada putrinya adalah “Do you best. It may not be the
best, but is the best that you possibly can do!”
Ketika
tragedi 1965, ketika Nani berusia 15 tahun. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965,
ketika rumah keluarga Nani di obrak-abrik kelompok yang membawa ayahnya ke
dalam truk dan di temukan dalam keadaan tak bernyawa 5 hari kemudian si sumur
dekat Lubang Buaya. Hal yang semakin membuat Nani kalut adalah saat ayahnya
pergi merupakan kali pertamanya ia ‘marahan’ dengan ayahnya. Ketika ia lupa
mengembalikan mesin tik sesuai tempatnya setelah memakai, Nani harus menghadapi
kemarahan ayahnya. Jenderal Sutojo memang sangat mengajarkan kejujuran dan
kedisiplinan sejak Nani kecil.
Sejak kepergian
ayahnya, Nani mengalami trauma jiwa terlebih setelah Ari adikya meninggal
karena penyakit hati. Kemudian beliau juga mengidap kanker payudara dan harus
mengalami pengobatan di Belgia selama 5 tahun. Itulah puncak krisis trauma
beliau, setelah sembuh beliau mulai bangkit dari trauma dengan mengadakan
diskusi-diskusi dan forum Leuven sebagai titik kebangkitan. Dimana beliau dapat
megungkapkan pergumulan batin yang secara terbuka sebagai anak korban yang selama
ini di definisikan sebagai “pemenang”. Hal yang sering beliau ucapkan
“… Salah atau
benar adalah penilaian historis. Tetapi siapa yang menjadi korban dan siapakah
yang menderita? Semua. Karena setiap orang yang termasuk dalam kategori
terlibat harus bergumul dengan pikiran dan perasaanya, dengan nasib dan
lingkungannya.”
Melaui buku
ini, Nani mencoba mengupayakan pemahaman dan penyelesaian sejarah masa lalu
bangsa kita dengan pendekatan psiko-sosial-historis, sebagai suatu pendekatan
lain yang diajukan. Baik pada bab pertama yang menceritakan tentang
kehidupannya maupun pada bab kedua yang berisi makalah ilmiah dan non ilmiah
yang intinya hampir sama menceritakan pengalaman mengenai pergumulan batin dan
trauma yang berhasil diatasi dengan jalan Tuhan yang luar biasa. Dan berbagai
pemikiran mengenai Tragedi 1965, salah satunya “sebuah perenungan: “memaafkan
tanpa melupakan”. Sejarah bukanlah sesuatu yang berlalu, ia tetap berpengaruh.
Dengan “memaafkan” kita restorasikan harkat dan martabat kemanusiaan kita,
sebagai pribadi maupun sebagai warga Negara suatu bangsa. “tanpa melupakan‟
berarti ingatan kolektif bangsa kuat menjadikan diri kita sebagai bangsa yang
kuat.
Buku ini
memberikan banyak pembelajaran bagi saya. Menurut beliau, dengan waktu yang
sudah berlalu, kita sudah agak terlambat. Tetapi dengan sisa waktu yang masih
ada, peluang tetap ada dan terbuka. Kesempatan tidak pernah singgah dalam
kehidupan. Kesempatan perlu direbut.
_Sri Untari_
Komentar
Posting Komentar