Mengapa Dewi Sartika tidak se-populer Kartini?
(sumber gambar: google)
Apa yang ada di benak anda ketika mendengar sebuah nama “Dewi Sartika”, akankah anda akan teringat dengan nama jalan, nama sekolah atau mungkin nama Gugus Depan Pramuka di sekolah? Lantas siapa Dewi Sartika sebenarnya? Mengapa namanya cukup populer namun tidak dengan kisahnya?
Lain lagi, ketika anda mendengar kata Kartini, segudang ingatan akan mewarnai benak anda. Mulai dari tanggal peringatannya, hiruk pikuk aneka kebaya yang akan dikenakan anak-anak perempuan Sekolah Dasar dan Menengah, hingga buku-bukunya yang mendunia Habis Gelap Terbitlah Terang, atau mungkin Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, dan berbagai tulisan Kartini lainnya. Semoga saja, anda juga teringat salah satu diorama Kartini di Museum Kebangkitan Nasional.
Kartini sebuah nama yang diberikan kepada bayi perempuan yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Kemampuannya dalam berbahasa Belanda memungkinkan beliau bisa mengakses pengetahuan dari surat kabar, majalah dan buku-buku berbahasa Belanda. Pengetahuan Kartini tentang dunia luar membuat ia menyadari kesenjanga yang demikian menganga dengan nasib perempuan bangsanya. Segala keluhan, ide, dan gagasannya disampaikan melalui kegiatan korespondensi pribadi dengan Rosa Abendanon dan kawan Belandanya yang lain.
Tujuh tahun setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirim Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu Habis Gelap Terbitlah Terang pada 1922. Buku tersebut juga diterbitkan dalam bahasa Sunda dan Jawa.
Sedangkan Dewi Sartika merupakan nama yang diberikan kepada bayi perempuan yang lahir di Bandung, 4 Desember 1884. Kisah hidup yang pebuh liku, membuat Dewi Sartika tumbuh menjadi perempuan yang tangguh, mandiri dan visioner. Kemampuannya dalam membaca dan menulis sudah ia tularkan sejak usia 10 tahun, dengan media seadanya ia mengajarkan baca tulis dibelakang rumah kepatihan. Dewi Sartika terus berjuang memperbaiki pendidikan perempuan di Bandung, hingga akhirnya beliau mendirikan sekolah perempuan yang bernama Sakola Kautamaan Istri pada 16 januari 1904. Pada tahun-tahun berikutnya, muncul cabang-cabang Sakola Kautamaan Istri di Jawa Barat dan Padang, Sumatera Barat. Atas jasanya di bidang pendidikan, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada wafatnya Kartini pada tahun 1904, Dewi Sartika telah mendirikan Sakolah Istri, sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda. Pada masa itu ide-ide Kartini belum membumi di Nusantara, sebab buku Door Duistermis tot Licht baru dibukukan tahun 1911 dan diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang pada 1922. Sedangkan jika kita melihat kiprah Dewi Sartika, tahun 1909,
Sakola Istri telah menghasilkan lulusan pertamanya dan pada 1920 di tiap kota kabupaten dan kota kewedanaan di wilayah Priangan telah berdiri Sakola Kautamaan Istri.
Dengan perjuangan yang tak kalah hebatnya, lantas mengapa Dewi Sartika tidak se-populer Kartini?
Pemikiran Kartini yang segera menggugah hati dihargai dengan dibentuknya Yayasan Kartini oleh keluarga van Deventer. Delapan tahun setelah wafatnya Kartini, pada 1912 Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Malang, Madiun, Cirebon didirikan dengan nama “Sekolah Kartini”. Hal ini diperkokoh dengan kebijakan pemerintah Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan hari lahir kartini, 21 April untuk memperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemdian dikenal sebagai Hari Kartini bagi seluruh warga Indonesia.
Perjuangan Dewi Sartika dalam memperbaiki nasib perempuan di Indonesia, sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi yang sama, minimal di benak kita. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Stovia, 2018
Komentar
Posting Komentar