Sederhana dalam Doa Cinta

Tuhan selalu punya jawaban atas doa doa kita dan Tuhan selalu menepati janji Nya untuk menjabah doa-doa kita. Aku masih ingat betul ketika aku pertama kali dijatuhkan cinta pada puisi oleh guru Bahasa Indonesiaku di SMP. Aku diperkenalkan dengan puisi seorang Budayawan besar, yang sontak memantik kemenarikanku pada puisi.
Emha Ainun Najib dalam karyanya
“Puisi Jalanan”
Hendak puisiku lahir dari jalanan
Dari desah nafas para gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan
………………. (dan seterusnya)
Saat itu, ketertarikan pada puisi perdana yang kupelajari ini meyakinkanku kalau sipencipta puisi ini adalah seorang dengan pemikiran hebat. Aku masih ingat berucap suatu ketika nanti aku akan bertemu dan mengerti pemikiran beliau. Aku tahu, itu bukan orientasi utama dalam doaku, itu hanya selipan doa yang kebetulan tak aku ulang-ulang. Allah Maha Berkehendak, setelah 7 tahun doa itu terucap, Allah menjabah doa itu dalam waktu yang maha tepat.
Dibawah sorot remang lampu Taman Ismail Marzuki, sebuah pengajian menyobek semesta dalam hati yang ciut. Jujur hati gelapku dulu sering mengintimidasi mereka yang nongkrong dengan lingkaran kopi, rokok dan aksesoris lainnya. Akupun selalu berupaya menghindari lingkaran-lingkaran serupa. Namun, malam ini aku benar benar berkaca pada diriku sendiri karena aku berada di antara lingkarang-lingkaran itu. Bahkan dari lingkaran yang sering aku intimidasi aku belajar banyak makna kehidupan. Aku malu.
Meski, mungkin aku belum terlalu mengerti akan materi yang dipaparkan dan didiskusikan dalam pengajian ini. Namun yang jelas aku lihat Emha Ainun Najib (Cak Nun) melakukan pendekatan yang paling baik, memangku semua lapisan masyarakat dengan latar belakang yang beragam. Kapan lagi aku melihat pengajian (entahlan namanya, namun menurutku itu pengajian) tanpa panji ataupun labelisasi islam ini dan itu, kapan lagi melihat pengajian ikhwan dan ahwat tanpa sekat namun tak membuat konsentrasi si pengaji ruwat, kapan lagi melihat mereka bersama rokok, kopi dan aksesoris lainnya bersalawat dengan khusyuknya hingga dini hari dan kapan lagi orang non Islam bergabung dalam suatu pengajian yang sama dengan pemujian Tuhan yang menyesuaikan.
Banyak sekali pelajaran berharga malam ini, namun 2 hal yang dapat aku tangkap dengan jelas. Ketika kita tak harus menafsirkan Al-Quran, namun kita wajib mentadaburkan. “Tafsir dan Tadabur Al-Qur'an itu berbeda, Tafsir harus akademis ilmiah, sedangkan tadabur tidak perlu itu, melainkan cinta” ( Cak Nun). Jadi, aku ataupun kalian pasti selalu punya versi cinta terhadap Al-Quran.Top of Form
 Karena, menurut Cak Nun, Tadaburmu itu berbeda dengan tadaburmu,
Setiap orang mempunyai pergaulan dan cinta masing-masing yang terhadap Al-Qur'an. Kemudian mengenai negara Indonesia darurat masalah, ketika Indonesia digelimpangi masalah, kita tak perlu stress. Ketika kita tidak mampu menyelesaikan masalah, dengan kita tidak menambah masalah itu merupakan wujud penyelesaian masalah. Sesimpel itu kawan, sesimpel itu untuk mengubah Indonesia dan semakin simple menurutku jika semua manusia Indonesia berpikiran serupa.
                Cak Nun sosok yang begitu dirindukan ditengah carut marutnya zaman persaingan dan keserakahan. Beliau yang tetap menemani bangsa Indonesia dengan toleransinya yang begitu kental diusungnya, ia semaikan benih benih kebaikan. Terlepas dari segala cibiran mengenai Cak Nun kafir, Cak Nun sesat dan sebagainya, malam ini bersama beliau saya belajar bagaimana ikhlas bertoleransi, sederhana dalam menyikapi hidup yang sebetulnya sederhana dan bahagia.

Kenduri Cinta : Berladang masa Depan di Negeri Maiyah
Taman Ismail Marzuki, 14 Mei 2016


Komentar

Postingan Populer