Desah Sampah Jalanan


Berceecer-cecer dibawah gemerlap lampu jalan
Berserak menyengat bulu penciuman pengguna jalan
Retina demi retina menyorot jijik melewatiku
Tanpa terbias untuk mengamankanku
Menutup rona dengan lentik yang dipenuhi kilauan kutek
Hitam mengental terdiam anyir
Menghentikan langkah bening tak berdosa
Perjalanan waktu menambah anggota baru
Semakin sesak tertimbun busuk

Bagaimana tidak?
Detik demi detik lambaian tangan baru
Menambah aku dengan aku yang baru
Siap bersatu menjadi aku yang bisu
Buta kata nan tuli bahasa bahkan mati akan rasa
Diam menggenang meracuni sekitar
Tanpa berteriak mengubah keadaan
Tuhanlah pendengar setiaku, mendengar rintihku
Mensuakan aku dengan bening langit yang ramah
Mengantarkan aku pada penciptaku


(Cengkareng, 2011)
Jelas teringat ketika puisi ini tercipta adalah ketika aku pertama kalinya menginjakan kakiku di Ibu Kota, tepatnya di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Ketika aku menunggui ayahku mencari ikan di sungai dengan jaring, namun seringkali beliau dapati adalah sampah. sampah dengan telaten beliau kumpulkan di pinggir sungai, untuk kemudian dibakan. Namun, tak jarang ketika ayah bersusah payah mengambil sampah di sungai, dari atas jembatan orang turun dari mobil dan melempar karung-karung sampah baru ke sungai. Terpikirlah aku kalau sampah itu berbicara mendesah padaku. 

Komentar

Postingan Populer