Corat Coret Harapan dan Realita


“Kamu beruntung nduk, bisa masuk sekolah keguruan. Bisa jadi guru, sing digugu lan ditiru.” Sepenggal kata yang masih terngiang di alam bawah sadarku dari nenekku tersayang ketika pertama kali aku lulus di suatu Universitas Keguruan. Akupun cukup berbesar hati, karena dengan jadi guru aku akan turut berperan serta mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yakni ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Dunia barupun aku jalani, ketika anak kampung yang hidup antah berantah di kaki gunung sana, kini harus menetap di antara riuh kenalpot jalanan dan hamparan gedung pencakar langit.
Berbagai retorika kehidupan menjadi menu santap di kampusku. Cita-cita besar akan pendidikan Indonesia yang lebih baik, pendidikan yang akan membawa perubahan Indonesia di kancah Internasional, pendidikan yang ini dan itu bagai impian surge yang di tebar di sebuah taman bunga. Pembelaan atas ketidakadilan pendidikan menjadi catwork para pejuang pendidikan. Akupun mengikuti arus tersebut, mengalihkan rasa rindu dimana kali pertama aku menapak lentik.
Aku terus melepas bebas mimpiku untuk pendidikan Indonesia, aku terus berupaya menyelesaikan kuliahku agar aku bisa mengabdi pada Negeri ini. Pernahkah kalian merasa begitu bersemangat dengan impian kalian? Itulah yang dirasakan anak kampung ini. Berusaha menjadikan penciuman setajam anjing mengenai isu pendidikan, berupaya menjadi singa ketika ada ketidakadilan pendidikan dan merasa menjadi bagian dari pendekar pendidikan.
Namun, pernahkah engkau merasa impian sebesar cakrawalamu harus rontok oleh sentilan realita kehidupan? Merasa begitu kecil diantara julangan batu, merasa tercekik pahit di kerongkongan padahal engkau ada diantara air mengalir dan merasa engkau begitu tak terlihat tak terjamah bahkan tak dapat dirasakan keberadaannya. Cakrawalamu terasa kosong tanpa udara sesak tanpa kehidupan.
Ini terjadi ketika aku menyusuri sebuah sekolah yang begitu menginspirasi, di kawasan Tanjung Sari, Bogor. Berawal dari sebuah desa yang buta pendidikan, bak seorang malaikat pendidikan membangun sebuah paradigma baru mengenai pentingnya pendidikan. Membangun sekolah-sekolah tanpa biaya yang mengekang muridnya. Membangun usaha peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Salah satu sekolah perdananya adalah SMK Mitra Indonesia.
Obrolan hangat bersama siswa SMK Mitra Indonesiapun menemani hari-hariku selama disana. Bahagia seolah mengikutiku melihat semangat mereka menjadi benih benih pembelajar yang tangguh, belajar apapun tak kenal waktu kalau kata orang islam mereka istiqomah. Entah mengapa harapanku cukup besar dengan semangat mereka hingga muncul suatu pertanyaan.
“Kalian mau ngapain setelah lulus?”
“Saya mau jadi polwan ka”
“Saya mau jadi pengusaha”
“Saya mah mau jadi guru, teh”
“Saya mau jadi, hmm istri yang soleha aja deh ka. Hehehe”
Tawa kami memecah keheningan ruang, begitu pula harapanku atas pernyataan mereka. Sesederhana ini Tuhan menciptakan kebahagiaan makhluk-Nya.
“Berarti setelah pengumuman UN, kalian mulai mengurus pendaftaran ya?”
Hening
“Kita mah cuma bercanda teh, habis lulus ya kita kerja disini, di koperasinya pak Oyan (Pemilik sekolah SMK Mitra Indonesia)”
“Kok gitu?” reflekku
“Iya lah teh, kita kan udah di kasih gratis sekolah”
Kelu dan bisu aku tak bisa menjawab seiring runtuhnya cakrawala harapanku.

8 Mei 2016
Training for Education Reformers




Komentar

Postingan Populer