Apa Kau Tau Obat Lelah Selain Istirahat?
(Lukisan Wanita Menanti (Sudarso-1982)
sumber : http://galeri-nasional.or.id/collections/634-wanita_menanti )
sumber : http://galeri-nasional.or.id/collections/634-wanita_menanti )
“Mbah, nyoblos ngga nanti?” tanya Susi sembari
mendekatkan moncong mulutnya ke telinga Jumingah. Diseka keriput kaki Jumingah
yang telah satu abad menjajaki manis getirnya kehidupan.
“Nyoblos
opo?” jawabnya setelah pertanyaan dilontarkan 5 menit yang lalu.
Kembali
Susi mendekatkan mulutnya ke telinga Jumingah dengan lembut.
“Nyoblos
Presiden baru, mbah.”
“Soekarno
ada di gambar mana?”
“Presiden
Soekarno sudah lama meninggal mbah”
“Innalillahi...”
lantas Jumingah mengangkat tangan memanjatkan doa panjang-panjang pada Sang
Pemilik Nyawa Soekarno.
Hening.
“Alhamdulillah
selesai, sekarang mbah istirahat ya.” Telah selesailah proses mandi (baca=seka)
seluruh badan Jumingah oleh cucunya Susi.
“Nduk,
Soekarno kenapa ndak nyalon lagi?”
Susi
hanya bisa tersenyum, karena telah lebih dari 5 kali ia menjawab pertanyaan
yang sama.
“Presiden
Soekarno sudah lama meninggal mbah”
“Innalillahi...”
lantas Jumingah mengangkat tangan memanjatkan doa panjang-panjang pada Sang
Pemilik Nyawa Soekarno.
“Sekarang
mbah istirahat ya?” dibaringkannya badan renta Jumingah pada ambin yang terbuat
dari anyam bambu. Meski zaman telah modern, Jumingah memang menolak menggunakan
kasur, dan berbagai kemodernan yang lain.
“Soekarno
nyalon engga?”
“Presiden
Soekarno sudah lama meninggal mbah”
“Innalillahi...”
lantas Jumingah mengangkat tangan memanjatkan doa panjang-panjang pada Sang
Pemilik Nyawa Soekarno kemudian Jumingah terlelap dalam doa panjang-panjang
tersebut. Kemudian Susi meninggalkan Jumingah di sebuah rumah reot kesayangan
neneknya itu. Kembali bekerja di kios hasil taninya yang hanya terletak 50
meter dari rumah reot itu.
***
Lantunan
gelombang nada gamelan berlening memainkan gending. Kekusaman panggung seakan
rontok dihempas gelombang merdu yang menyusup ke seluruh pelosok dusun. Hawa
tersebut kemudian terisap dan masuk ke rongga raga. Jiwapun perlahan
membebaskan diri dari tekanan. Lepas.
Kelir
itu mungkin sudah sangat kumal, entah berapa tahun tak pernah terjamah sabun
dan air. Kain batik, beskap dengan tunik serta kuluk berwarna hitam membalut
tubuh yang tengah duduk dengan posisi kedua kaki terbuka lebar diatas kursi
seolah singgasana raja. Sosok ini memerankan seorang Tunggul Ametung, seorang akuwu kerajaan kecil
Tumapel yang dibawahi kerajaan Kediri. Tampil dengan arogan dan kewibawaan yang
tiada tanding, Tunggul Ametung didampingi sosok wanita dengan pakaian ala Pramesywari
dengan kecantikan tiada duanya. Semua orang akan tahu siapa wanita cantik itu, Prajna
Paramita atau biasa dikenal dengan Ken Dedes, seorang bhrahmani anak Mpu Parwa
yang dipaksa menjadi seorang pramesywari oleh kediktatoran seorang Akuwu
Tumapel.
(sumber gambar: https://www.deviantart.com/)
Meski
telah menonton lakon kethoprak “Arok Dedes” berkali-kali, rasanya rakyat dusun
tiada pernah bosan apalagi berniat untuk absen ke lapangan dan menyaksikan
kelir kusam itu di gelar. Apalagi jika Dedes dimainkan oleh Sri Rahayu, kembang
dusun yang menjadi primadona pemain kethoprak.
“Jum,
kamu tak ikut ke lapangan? Lakon nya
bagus malam ini.”
“Biar
suamiku saja yang menceritakan nanti, aku belum lagi rampung dengan kapulaga ini,”
“Kamu
ini hidupnya terlalu serius. Mbok ya sedikit bersenang-senang. Dengar-dengar
ada ronggengnya juga lo. Cuaanttikk tenan katanya.”
“Halaaah,
palingan si Sri, siapa lagi emang primadona laki-laki dusun ini.” Kata Jum
sembari mencibir.
“Owalah,
yasudah.” Partinem segera meninggalkan Jumingah yang tengah sibuk dengan kapulaganya. Bergabung bersama derap
langkah yang lain menuju lapangan dusun.
Sebenarnya
bukan ia tak suka lakon kethroprak atau pertunjukkan budaya yang kerap digelar
di lapangan dusun, hanya saja hatinya belum berdamai dengan sosok wanita pemain
utama yang selalu dipuja suaminya. Cemburu? Ya, logikanya menolak cemburu,
karena tak mungkin suaminya menjadi kriteria Sri. Tapi, hatinya tak bisa
berbohong, hatinya tak bisa baik-baik saja jika suaminya sudah mulai memuji
kecantikan dan kepiawaian Sri dalam memainkan lakon, bahkan setelah
berhari-hari kelir kusam itu selesai dimainkan. Biarkan malam ini hanya ia
sendiri menikmati alunan gamelan yang lamat terbawa angin malam merembes diantara
sela-sela bambu rumahnya, sementara yang lainnya mengagumi kemolekan Sri
Rahayu. “Toh dia hanya memang cantik
karena ia pandai menggunkan dempul?” Katanya menghibur diri. “Toh lakon Arok Dedes telah lebih dari 10
kali dimainkan dalam satu tahun terakhir ini, belum sama sekali aku lupa detail
ceritanya.” Katanya lagi menambahkan. Mencoba memenangkan hatinya.
Jum
mulai memejamkan mata dengan tangan yang masih mengerjai kapulaganya. Ia
nikmati alunan gamelan yang membebaskan sukmanya. Ia memang mencintai musik
gamelan sejak kecil, sejak ia Sekolah Rakyat dan tidak tamat, sejak ia
memutuskan menikah dengan Warmo. Seorang petani yang guyub dengan tetangganya,
bahkan terlalu guyub pikirnya. Guyub yang kelak memisakan dirinya dengan lelaki
yang terlampaui ia cintainya itu.
***
Berkah
air langit masih saja menetes dalam rumah, meski di luar mendung awan telah
tersapu bersama gerimisnya menyingsing ke sebelah tenggara. Masih jelas aroma adem nya yang merembes melalui
tiang-tiang rumah yang telah dimakan usia. Berteman remang lampu bohlam 4 watt
yang dibeli masa Presiden Soeharto dan nyalanya kini memudar bersama kenangan
yang pernah diteranginya. Kini bohlam itu di selimuti sarang laba-laba yang
tipis, bentuk yang sama pada setiap sudut rumah ini. Tembok anyaman bambu yang
dulu dibuat mbah Karjo yang telah meninggal 10 tahun yang lalu, masih berusaha
berdiri menutupi rumah ini dengan reotnya. Padahal, inilah rumah termewah yang
pernah ada di desa ini, 70 tahun yang lalu. Rumah impian setiap orang yang
melihatnya. Hanya pada rumah reot ini aku dapat mendengar dengung suaramu yang
terngiang tiada berakar. Kalau tak salah terhitung 43 tahun sudah suara itu
menemani, sejak kau membisikkan kata-kata itu.
..Yowes ora papa. Yang
sabar, ini cuma sebentar, Gusti Allah mboten sare.
Ah.
Ini hanya angan-anganku saja. Mana pernah kau mengatakan itu, akupun tahu kau
harus pergi bersama banyak kawan tanimu dari orang lain. Kabarnya kau
terindikasi masuk Barisan Tani Indonesia (BTI) yang terlibat partai terlarang
dulu. Harusnya sebelum menangkap mereka menanyaiku dulu, jangankan perkumpulan
seperti itu, membaca menulis saja kau tak bisa. Kau hanya tau mengaji hafalan
dengan Kyai Samsuri tanpa paham hijaiyahnya apalagi tulisan latin. Yang kutahu,
kau manusia paling gigih mengelola tanah dengan kotoran ayam dan membaginya
dengan kawan petanimu. Makanya, kau sering kali diberi aneka bibit tanaman gratis
dari mereka.
Sejak
kau memutuskan tak pulang, dan mendekam di ujung Indonesia sana, ku tak lagi
bisa mengingat apa-apa. Selain panjatan doa dan fantasiku sendiri. Ingatanku
hanya mengingat apa-apa yang kulalui bersamamu. Termasuk presiden idolamu, yang
tadi kudengar kabarnya dari Susi. Ah, tapi ku lupa apa itu. Hanya kau yang
dapat ku ingat jelas.
Saat
kau muncul diantara awan, kumulai sadar harapan-harapan kosongku perlahan.
Kata-kata bisikanmu hanya fantasiku belaka. Menguap bersama resipitasi nimostratus
diangkasa sana. Lelah.
(sumber gambar: https://www.hipwee.com/)
Apa kau tahu obat lelah
selain istirahat?
Sama
seperti tiga hari yang lalu aku menatap nanar keadaan rumah ini, satu per satu.
Sama seperti hari kemaren aku masih menatap detail bangunan rumah ini, sama
seperti hari ini, esok, lusa dan seterusnya. Aku masih menatap nanar rumah ini.
Aku lelah. Sungguh lelah. Tapi aku tak mau berhenti. Aku tak hendak sama sekali
beristirahat. Apa kau tahu obat lelahku ini selain istirahat?
SELESAI
Setelah
lama tak mengeja, kuputuskan untuk kembali menorehkan tinta
Apapun
hasilnya
Ternyata
bukan tulisannya yang penting, tetapi kepuasaan menulisnya
Terima
kasih telah mengingatkanku kembali
Bahwa
ada hal yang kembali membuatku merasa hidup kembali
Ini
adalah tulisan pertama di tahun 2020
Tahun
dimana semua orang dilanda kebosanan di surganya sendiri
Utan
Kayu, 10 April 2020
Komentar
Posting Komentar