RUMAH
Embun
dedaunan Jati masih belum jua kering, nampaknya mentari ingin terus berlama-lama
dengan kesegarannya. Begitupun rumput-rumput lapangan yang masih damai dengan
guyup hujan semalam, damai membuat enggan kaki manusia menapakinya. Sementara warna-warni
bunga bougenville hasil rekayasa cangkok nampak tengah memancarkan pesonanya
mengalahkan pepohonan pagar disampingnya yang dipotong bulat-bulat rapi oleh
tukang kebun. Jalanan aspal depan pendopo taripun nampak masih mengkilat basah.
Sebuah gerbang besi tua berwarna cokelat masih setengah terbuka mengantarkan
setiap langkah dalam suasana pagi yang selalu seperti ini. Meski terkadang
dingin yang menyerang ulu hati tak bersahabat, namun tetap saja
berbondong-bondong manusia memasuki gerbang tua ini dan menikmati pagi yang
selalu seperti ini.
Seperti
biasa, Ari mengusap-usap Juju motor satu-satunya pemberian Bapak sewaktu beliau
mendapat uang arisan. Ari memang selalu menyediakan waktu 3-5 detik hanya untuk
mengusap Juju sebagai tanda terima kasih karena telah mengantarkan ke tempat
tujuan dengan selamat. Seolah mendapat balasan kata sama-sama dari sebuah
benda, Ari tersenyum puas dan meninggalkan Juju di parkiran bersama teman motor
lainya. Hanya membutuhkan tak kurang dari 5 menit menuju kelas dari parkiran,
melewati gerombolan anak laki-laki yang menjadikan jok motor sebagai tempat
nongkrong yang dianggap keren. Melewati gerombolan wanita yang cekikian di
depan kelas sambil sesekali mencuri pandang pada gerombolan laki-laki. Manusiawi
memang untuk ukuran anak SMA, tapi Ari tak pernah peduli itu. Tujuan ia ke
kelas, tentu untuk bertemu dengan sahabatnya Ani.
***
Kornea
matanya menatapi deras air langit seolah membuat tanah yang ditimpanya hampir
lepas, bebatuan kerikil hampir tak terlihat diselimuti genangan air cokelat
yang selalu bertambah meski tanah dengan optimal menyerapnya. Tak puas
membasahi tanah, hujanpun mengguyur balik jendela kaca tempat Ari menatap. Sambil
sesekali ia melihat langit yang kian hitam tak ada tanda-tanda hujan mereda. Seolah
matahari takkan muncul selamanya, telah lenyap dimakan mega yang begitu hitam
pekat. Meski terlihat menyeramkan, ia begitu menyukai hujan. Karena bersama
hujan ia akan terlarut dalam kenangan yang tak terucap. Iapun tenggelam dalam
lamunan kenangannya, hingga Ani yang membawa dua cangkir teh hangat membuyarkan
lamunannya.
“Bermalamlah disini, hujan takkan reda sampai
esok hari.” ucap Ani sambil turut memandang hujan sejenak, kemudian meletakkan
2 cangkir teh. “Teh manis hangat cocok untuk menemani lamunanmu.” lanjutnya sambil
tersenyum.
“Beruntunglah aku jadi anak gunung di negara
Tropis. Aku bisa merasakan hujan hampir setiap hari seperti ini, aku sangat
menyukai hujan sejak kecil.” Kata Ari sembari menyeruput teh buatan sahabatnya.
Tanpa menunggu jawaban, Ari berkata dengan mata kosong “Aku selalu menyukai
hujan, meski aku jauh dari rumahku. Tapi aku merasakan kehangatan yang sama
dirumahmu, aku tak pernah merasa iri dengan rumah orang lain. Karena rumahmu
An. Rumahmu selalu ada ketika hujan selebat ini, ketika terik terasa sejengkal
diatas kepalapun rumahmu yang menggantikan rumahku yang hanya dapat kutemui
dalam beberapa bulan sekali. Aku akan selalu merindukan rumahmu meskipun hampir
setiap waktu aku mengunjunginya.” Kembali ia menyeruput teh hangatnya.
“Akupun pernah merasa jauh dengan rumah,
bahkan dalam rentang tahunan Ar.” Balas Ani dengan senyum cantiknya.
“Kamu memang wanita tangguh sejak masih
sperma An.” Ledek Ari, sambil terkekeh.
“Rumah Ani adalah rumahmu juga Ar. Akupun
telah menganggap engkau seperti penghuniku, bukan lagi tamu yang hanya singgah
beberapa jam kemudian pergi.” Kata tembok rumah dengan senyum mempesonanya.
Kemudian
obrolan hangat berlangsung begitu akrab antara Ari, Ani dan Rumah yang melindungi
mereka dengan derasnya air kehidupan yang kadang diselingi halilintar yang
menghentak-hentak. Namun, kedekatan mereka membuat mereka lupa akan waktu yang
berlari. Dan hujanpun mereda…
Persahabatan
memang indah, kerapkali kedekatan sahabat mengalahkan keintiman sebuah
keluarga. Atau bahkan melebur menjadi kehangatan sebuah keluarga, seperti yang
dirasakan Ari terhadap Ani dan Rumahnya. Namun, terkadang Tuhan memiliki
rencana lain, Ari dan Anipun harus terpisah karena mereka harus fokus mengejar
cita-cita. Aripun memilih menggapai cita-cita dengan kembali menempati
kehangatan Rumahnya sendiri, sementara Ani masih setia menempati Rumahnya, tak
ada yang berubah pada Ani.
***
Cahaya
layar laptop nampak masih berkedip kedip, menampilkan sebuah paragraph dalam Microsoft
word yang belum lagi selesai. Sebuah rak buku yang penuh berisi buku tebal dan
tipis tak beraturan, sementara disamping laptop masih bertumbuk buku dengan
sebagian masih setengah terbuka diselipi berpuluh-puluh lembar fotokopian. Sementara
sebuah kasur tanpa ranjang terlentang dilantai, dengan seorang wanita yang
tertidur dengan handphone masih ditangannya. Suara ayat suci yang
dikumandangkan sebelum waktu subuh dari pengeras suara masjid membangunkan
wanita dalam lelap yang teramat sangat.
“Ya Allah, ketiduran lagi?! Mana tugas masih
banyak, lagi-lagi the power of kepeped.” Keluh Ari sambil terhuyung-huyung
bangun menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahnya.
Segudang
tugas yang diberikan semena-mena oleh dosen dan beberapa organisasi yang
diikuti sedikit membuat Ari kaget, karena harus lepas dari kebiasaannya
leha-leha di sekolah dulu. Seringkali ia merindukan sahabatnya si Ani beserta
rumahnya, namun ketika ia hendak menghubungi wanita tangguh itu ia kembali
teringat tugas yang menjejali otaknya. Hingga pada suatu ketika, Ani menelpon
Ari. Dengan senang hati Ari menyambutnya dengan berseri-seri dibalik
handphonenya.
Setelah
lama bertanya kabar dan berbasa-basi, terdengar dari balik telephon suara Ani
mulai parau dan serak, seperti orang menahan tangis yang amat berat.
“Ar, maaf jika aku harus berbagi cerita ini
denganmu.” Tangis Ani meledak di balik telephon.
“Aku tak mengerti ucapanmu An.”
“Tembok rumah aku ambruk Ar. Meski aku dan
keluarga telah menahannya, namun Tuhan berkata lain.” Ani kembali terisak.
Tanpa menjawab, bening meleleh pula di pipi
Ari. Ingatanya terbang bersama kenangan tembok rumah yang selalu menjadi
sandaran Ari bersama Ani ketika masalah kehidupan menghadang.
“Sungguh aku tak ingin mendapat tembok baru
seperti apa kata orang-orang. Lalu aku berdiri menantang dunia dengan berpegang
pada tiang-tiang rumah yang melahirkan tembokku. Namun, Tuhan berkata lain
pula, karena mungkin usia tiangku mulai renta atau mungkin Tuhan telah
menuliskannya jauh sebelum kita dilahirkan. Tiangkupun menyusul tembokku. Kini aku
tetap berjalan sendirian menghadapi dunia, berharap suatu ketika akan ada yang
menggandengku.” Sambung Ani setelah mereda dari isaknya.
“Kau dapat tinggal dirumahku dan bersandar
pada tembok rumahku, seperti apa yang pernah aku lakukan dulu terhadap rumahmu.”
Kata Ari dengan suara parau.
“Meski tembokku kini tengah bersama Tuhan
disana dan tiada lagi aku bersandar, aku akan selalu punya lantai untuk
bersujud Ar, jadi nikmatilah rumahmu sebelum beliau menyusul rumahku. Kau tau
Ar, kadang hidup itu tak selamanya mulus. Kita butuh batu kerikil supaya kita
berhati-hati, kitapun butuh semak berduri agar kita tetap waspada. Kadangpula hidup
menyuguhkan kita persimpangan pilihan, agar kita bijaksana. Hidup akan selalu
butuh masalah agar kita punya kekuatan, kadang butuh pengorbanan agar kita tahu
apa itu kerja keras. Kitapun butuh air mata agar kita tahu, apa itu meredakan. Kadang-kadang
dicela juga perlu agar kita mengerti bagaimana menghargai. Kau tau Ar.. kadang
aku berpikir aku takkan menghitung berapa yang telah hilang, namun aku akan
menghitung dan menghargai apa yang tersisa. Aku akan berjuang untuk mereka yang
menyayangiku, hidup ini terlalu singkat untuk mengingat dan membenci mereka
yang tak menyukaiku.”
Setelah
telephon ditutup, Ari menangis tersedan-sedan hingga ia tak lagi merasakan lagi
air matanya. Ia terus berguman dalam doa agar sahabatnya yang tangguh akan
selalu menjadi semakin tangguh dan kuat. Dalam ucapnya yang tak jelas bercampur
tangis yang tak karuan, Tuhan Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan masih
mendengar dengan sangat jelas.
Kepada Cachyani Miftahul Jannah, kepadanya
Aku berhutang kasih sayang
Semakinlah menjadi tangguh dalam seperlima
abad menjajaki kehidupan yang tak terdefinisikan. Selamat Hari Lahir
Komentar
Posting Komentar