Kudapan Perayaan HUT RI 71


Pendidikan dan kesenjangan, sebuah pengantar
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”_Tan Malaka
            Diawal tulisan ini kita telah disusuhi kutipan dari sebuah buku berjudul Madilog, sebuah buku yang ditulis sekitar tahun 1943. Saya kira itu bukan sekedar kata bijak yang disampaikan seorang penulis kepada para pembacanya, bak sebuah ramalan kitapun masih bisa berkaca pada kutipan tersebut setelah lebih dari 70 tahun kata-kata tersebut ditulis. Meminjam kata sastrawan WS Rendra dalam sebuah sajaknya “…Apalah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing ditengah kenyataan persoalan?...”
            Demikianlah kiranya potret sebagian pemuda Indonesia yang telah dikenal terpelajar dan berintelektual ditengah masyarakat, sebab telah banyak mengenyam pendidikan ala Barat. Masih sebagian dari mereka yang mengaku masyarakat modern Indonesia, menerima semangat kebudayaan Barat sebagai arah pertumbuhannya. Kebudayaan Indonesia dibangkitkan dengan semangat Barat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan, ekonomi dan demokrasi. Westernisasi atau Deorientalisasi, dijadikannya jalan untuk mengasingkan diri dengan masyarakat yang terlampau buta dengan pendidikan.
            Sebenarnya permasalahan tarik-menarik antara Barat dan Timur di Indonesia sudah menjadi perdebatan sejak masa pergerakan Nasional sebelum diproklamasikannya kemerdekaan negeri ini 17 Agustus 1945 silam. Sebagai bangsa yang berada dipersimpangan jalan, tidak hanya secara geografis tetapi juga dalam arti kultur ideologis. Tidak hanya diapit dua benua dan dua samudra seperti yang sering diajarkan guru SD kita, letak geografis Indonesia menghadang lalu lintas antar benua, tidak memungkinkan negara ini sungguh-sungguh bebas dari pengaruh tarik-menarik dan tekan-menekan antara kekuatan-kekuatan dunia yang sedang bertarung, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.
            Disisi lain, dunia telah kian berubah semakin matrealistik dan pragmatik. Materi menjanjikan secara langsung dan rasional kesejahteraan hidup bagi mereka dalam arus globalisasi. Begitu pula dengan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ditanamkan dalam pendidikan, menemukan pesaing yang menawarkan kesejahteraan dan materiil yang konkret. Begitu banyak komoditas yang menjajikan kesejahteraan hidup yang dapat dibeli dengan intelektualitas pendidikan.
            Ketika masyarakat merindukan pemuda-pemuda yang terlampau sibuk dengan kepemimpinannya didunia kampus dan dunia kerja, mereka hanya memandang asing para intelektual muda ini. Acapkali terdengar pemuda ini menjadi pemimpin organisasi A, B dan C mulai dari tingkat kelas hingga nasional. Namun, diapulalah yang dirindukan kehadirannya dalam rapat Desa/Keluarahan atau sekedar lingkungan RT.
            Alhasil rapat hanyalah pengulangan sub kultural yang telah dilakukan sebelumnya. Minimnya ide-ide segar dan berbagai inovasi dari masyarakat tua begitu menumbuhkan kerinduan akan pemuda-pemuda seperti yang diceritakan sejarah.
 Pemuda : Kaum Pembaharu
            Menyadari beragamnya kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, yang ditandai dengan kesenjangan antarmanusia, antargolongan dan antarwilayah, maka pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan pemuda intelektual sangat penting. Seperti yang diungkapkan Prof. Budiono, keberhasilan demokrasi ditentukan oleh keberadaan pihak pembaharu. Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi. Tanpa kelompok pembaharu, transformasi akan beresiko mandek atau keluar dari jalur yang diinginkan. Kelompok pembaharu ini adalah meliputi kaum reformis, salah satunya adalah pemuda.
            Kesenjangan antargolongan inilah, yang jika terlampau berlarut akan menyebabkan konflik yang mengancam keamanan nasional. Seperti misalnya kerusuhan Tanjung Balai, kerusuhan Poso dan berbagai kerusuhan lainnya. Seperti yang diramalkan filsuf Perancis, Andre Malraux, bahwa abad 21 merupakan abad agama. Manusia tak akan bisa survive, apabila nilai-nilai agama tidak diaktualisir. Nampaknya untuk menjadi seorang pemuda pembaharu tidak hanya mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti apa yang dipelajari disekolah-sekolah. Namun, juga memiliki landasan agama dan budaya yang kuat. Meminjam kata-kata Habibie ‘perpaduan iptek, budaya dan agamalah yang menentukan kualitas peradaban’.
            Namun, seorang intelek pembaharu bukanlah mereka yang bermental priyayi yang takkan sudi bercampur dengan rakyat jelata kecuali hanya menjadi pemilik telunjuk. Intelek pembaharu yang berpengetahuan dan menguasai teknologi, namun beridealis mengalahkan pragmatisme. Ibarat seperti ungkapan dalam sebuah tulisan Anies Baswedan, mereka yang tahu aturan makan table maner direstoran mewah, tapi tak canggung makan di warteg kaki lima.
            Kini, saatnya pemuda menjadi obat rindu masyarakat akan goresan sejarah yang melukiskan peranan pemuda. Bukan hanya menjadi jagoan IP dan orator di lingkungan sekolah/kampus. Sudah saatnya menjadi pembaharu yang melahirkan ide-ide segar ditengah kesenjangan sosial antar masyarakat. menghidupkan kembali Karang Taruna yang selama ini hanya terdengar suaranya ketika HUT RI atau lainya.
Karang Taruna yang dicanangkan pemerintah sebagai perkumpulan yang tidak primordialisme (suku, bangsa, agama, dan warna kulit), akan menjadi pembaharu yang mencerahkan masyarakat terutama masyarakat miskin agar mandiri. Melakukan pendampingan, mambantu mengarahkan dan tentunya mencerdaskan dengan mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari berbagai pendidikan formal dan nonformal. Jika, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengugkapkan musuh bangsa kita sekarang adalah kemiskinan (2006). Maka, sudah semestinya kita sebagai seorang pemuda membantu Indonesia mengentaskannya, meskipun dari hal terkecil, menjadi pembaharu di Karang Taruna.
Kesimpulan
            Pendidikan mengajarkan kita bagaimana bangsa Barat dapat maju dengan berbagai pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang tiada matinya. Namun, para founding father kita mengajarkan bagaimana budaya Timur yang santun mampu menyaringnya. Pun dalam setiap ajaran agama, mengajarkan kebermanfaatan kita untuk orang lain adalah hal yang mulia. Berpendidikan bukanlah menjadikan kita menjadi manusia asing ditengah persoalan masyarakat, bak sebuah amanah untuk memanfaatkan ilmu kita untuk mengentaskan persoalanmasyarakat.
            Pemuda yang selalu diasosiasikan semangat bertransformasi karena pemuda merupakan simbol dari dinamika semangat perjuangan. Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan keberagaman masyarakatnya. Keberagaman harus dipahami setiap pemuda, agar tak menjadi kesenjangan yang berkelanjutan. Karena pembangunan bangsa harus tetap diperjuangkan ditengah arus globalisasi.
           
           

Komentar

Postingan Populer