Jika menunggu itu setia, maka…
kau
datang membawa sekarung beras dan sepotong tempe bongkrek...
Cahaya orange beranjak semakin
menggelap, diringi semilir adem membelai dedauan pohon Melinjo yang menjulang
menutupi sebagian sisi kanan jendela. Jendela yang terbuat dari kayu nangka itu
nampak masih kokoh melawan usia yang menggerogotinya. Diluar jendela, nampak
beberapa jangkrik yang siap meririk menghiasi sisi gelap dunia. Bangsa
burungpun mulai menutup sarangnya bergantian dengan kalong yang lebih menyukai kegelapan, keluar sarang mencari sesuatu
untuk perutnya. Langit yang nampak mendung membuat bintang tak meperlihatkan
rasinya, mengijinkan bulan tetap terlihat dibawah bayang bayang mengabu.
Sementara didalam jendela terlihat
seorang wanita paruh baya memegang gorden jendela berwana cokelat susu yang
telah lusuh. Ia mengurungkan niatnya menutup jendela. Pandangannya kosong
keluar jendela melukiskan perasaan dalam yang tak terucap. Ia masih saja melihat gundukan tanah hijau
yang agung itu. Meski terletak jauh dibelakang rumahnya, masih dengan jelas
menjangkau dengan pandangnya yang kian menua. Meski gundukan itu kini terlihat
menghitam ditelan kegelapan malam. Namun, ia masih saja menatap dengan
pandangan kosong dan pikiran kacau. Bening kecil kembali meleleh dipipinya yang
semakin keriput dan iapun tersedan-sedan tanpa ucapan.
***
“Sesederhana kepribadianmu, akupun
mencintaimu dengan sederhana.” Bisik Suryono kepada Ayu, memperingati 20 tahun
pernikahan mereka. Ayu nampak tersipu dengan malu sambil masuk kamar kemudian
disusul oleh Suryono dengan senyuman penuh hasrat. Sebuah rumah berlantai tanah
dan berdinding bambu anyam rasanya menjadi istana surga bagi keluarga Suryono
dan 5 orang anaknya. Sesuap nasi jagung yang masuk tubuh mereka seakan menjadi
anugerah tak terkira dan kenikmatan cinta keluarga kecil itu menjadi syukur
mereka yang tiada henti.
Suryono seorang anak asisten Wedana
kota melilih hidup dibawah kaki gunung Plana, disebuah desa kecil bersama
wanita yang dicintainya. Perbuatannya yang keluar dari zona elit priyayi
menjadikannya harus keluar dari Sekolah Rakyat yang belum lagi selesai
dijalaninya. Tidak puas dengan itu, Suryono kini tidak lagi diakui sebagai anak
oleh bapak dan keluarganya. Iapun, menolak mentah-mentah dalam hati ketika
hendak dijodohkan dengan seorang wanita anak asisten Wedana kota sebelah, meski
ia berusaha dengan sopan ketika mengeluarkan tolakan itu.
“Ah,
wanita kota! Cuma bisa uncang-uncang[1]
kaki dan menyuruh bujang[2].”
Ucapnya ketika memutuskan untuk memilih Ayu, wanita desa yang hidup di kaki
gunung.
Kini semua itu telah dianggap
masalalu yang tertulis dibuku lama, sekarang ia memulai buku baru dengan
lembaran baru bersama wanita yang teramat dicintainya. Ayu selalu bersyukur tak
terkira dengan berapapun jumlah uang yang Suryono berikan. Memang, sebagai
petani penggarap tanah bengkok[3]
lurah, tak begitu menjanjikan untuk hidup cukup apalagi dengan 5 orang anak.
Meski Ayu tak pernah mengenal huruf apalagi mengenyam bangku sekolah lagi
mengerti teori managemen ekonomi, namun ia cukupkan hingga semua terasa cukup.
Iapun memanfaatkan sepetak kebun disamping rumah untuk ditanami ketela untuk
dibuatnya kue inthil[4]
yang dijualnya berkeliling desa.
Terasa terik sejengkal diatas
kepala, Suryono menatap keatas seakan menanyakan waktu kepada Tuhan. Seketika
pandangannya berkunang dan iapun memijit-mijit keningnya yang dipenuhi peluh.
Kini keningnya dipenuhi lepotan tanah bekas pijitan tangannya sendiri yang
masih dipenuhi tanah. Iapun meletakkan cangkulnya sejenak, menghentikan garapan
yang belum lagi selesai. Memfokuskan kembali pandangannya yang kabur pada
rimbun hijau dan beberapa gundukan tanah bekas garapan.
“Ngasoh kang Suryono! Sudah siang, makan
dulu!” teriak salah seorang teman dari sebuah bilik bambu yang dijadikan tempat
beristirahat.
“Inggih!” balas teriakan Suryono sembari
menuju bilik untuk istirahat.
Nasi jagung dan oseng tempe menjadi
menu luar biasa siang ini. Memang di Negeri yang baru merdeka seumur jagung
ini, beras adalah barang langka. Apalagi dimasa serba sulit seperti sekarang
ini. Ketika Presiden talah memimpin dengan berbagai kebijakan baru dan situasi
politik yang tak stabil, kami rakyat kecil tak tau apa-apa. Kami hanya tau, negara
ini telah merdeka dan kami tetap saja makan nasi jagung oseng tempe. Tapi, kami
bahagia saja karena hanya itulah yang kami tahu.
“Sudah
hampir setengah gunung rasanya kita garap, rasanya sugih sekali menjadi lurah itu. Tanah dimana-mana.” Kata seorang
teman sambil tertawa pahit.
“Mau
ditanam apa tanah seluas ini katanya kang?”
“Katanya
hendak ditanami lada, mau dijual ke kota. Katanya laku mahal kalau dikota, bisa
beli tembe buat sebulan.”
“Wah
beda sekali dengan upah kita…”
Obrolan teman-temannya lambat alun
tak lagi terdengar oleh Suryono, obrolan seperti ini tidak terlalu menarik
baginya. Sudah terlalu bosan ia mendengar kenyataan kesenjangan sosial antara
priyayi dan rakyatnya, antara pejabat dan jelatanya. Ia memilih menatap langit dengan
menerbangkan pikirannya pada Ayu, istrinya. Memang hanya Tuhan Maha Kuasa,
mengubah langit hanya dalam hitungan detik. Terik yang tadinya terasa sejengkal
diatas ubun-ubun, kini berubah menghitam pekat kian mendekat seakan bumi segera
menemui ajalnya.
Air langit sebesar
bongkahan-bongkahan batu kali berjatuhan bersamaan dengan gledek yang
bersaut-sautan. Sementara hari semakin gelap menyambut malam, namun hujan belum
ada tanda-tanda akan mereda. Sementara, air cokelat bercampur tanah garapan tak
henti hentinya mengalir deras dari atas gunung membanjiri tanah garapan Suryono
dan teman-temannya. Dingin yang bergandengan dengan angin menusuk iga para
petani garapan yang hanya bisa melihat kuasa Tuhan dari bilik bambu yang hampir
roboh. Semakin besar hujan, semakin deras aliran air gunung dan kini ia membawa
bersama bongkahan-bongkahan tanah yang tidak dapat ditahan akar pepohonan yang
taklagi memiliki batang. Hari sudah gelap dan lagi-lagi, para petani garapan
hanya dapat melihat kuasa Tuhan tanpa bisa berbuat apapun hingga mereka menyatu
bersama gundukan tanah dan Kuasa-Nya.
***
Radar
Banyumas, 1963. Bencana tanah longsor terjadi di Gunung Plana, Desa Limbasari.
Bencana ini mengakibatkan ratusan hektar tanah pertanian gagal panen dan
tercatat 6 orang pekerja tanah garapan dinyatakan hilang pada hari kejadian.
Diduga 6 orang tersebut telah menjadi korban jiwa yang tertimbun tanah dalam
musiban tanah longsor ini.
“Nek,
emang bener kalau kakek adalah pekerja tanah garapan yang tertimbun tanah blabur itu?” tanya Rian, cicit Ayu yang
baru saja belajar sejarah di sebuah Sekolah Menengah di kota.
“Hahaha,
kata siapa kamu nang?” Tanya Ayu dengan
suara pelo.
“Kata
simbok sama lihat berita di internet nek.” Kata Rian sambil memencet tuts-tuts
telepon genggam milik ibunya yang sedang dimainkannya.
“Hahaha
tau apa simbokmu tentang kakek dan Kuasa Gusti Allah.” Tawa Ayu terdengar
semakin pelo dan parau.
***
Andai aku bisa menulis, telah
berlembar lembar kertas yang kutuliskan cerita untukmu mas. Ah, bukannya aku
tak bersyukur pada Gusti Allah, aku hanya sedikit berandai-andai mas. Kau tahu
mas, kini anak-anak kita telah memiliki anak dan anaknya telah memiliki anak
pula. Entahlah jumlah cucu dan cicit kita sekarang, aku lupa, ah kau tahu aku tak
pandai berhitung sejak dulu. Berbagai perubahan berlari melewatiku mas, rasanya
aku tak mau berjalan bersama mereka tanpa bersamamu mas. Kau tahu mas, jika
dulu kau pernah bercerita tentang jengkok yang bisa bicara, kini aku melihat jengkok yang ada orang didalamnya ada suaranya pula
mas. Kau harus melihatnya mas! Kaupun berbohong padaku mas, katamu hanya anak priyayi yang bisa baca hitung, kau tahu
anak cucu kita berhari-hari memegang kertas berisi kumpulan hitam yang mereka
bilang itu tulisan.
Jika dulu kau bercerita kalau kau
bisa naik kuda dari kota ke desa hanya tiga jam. Kini cucu kita bisa pergi ke kota
dalam waktu kurang dari setengah jam, naik kuda yang aku tak pernah tahu cara
makan dan hidupnya. Akupun tak pernah menanyakannya, aku ingin kau yang
menceritakannya padaku. Kau tahu mas, aku kini dapat makan nasi putih setiap
hari, iya! nasi putih yang dimasak dari beras yang dipanen dari tanaman padi
disawah. Ah, kau tak perlu gusar mas, aku selalu menyisakannya untukmu. Kau
tahu, entah berapa kali lebaran kita tak bertemu, lagi-lagi karena aku tak bisa
menghitung. Aku selalu mendapat uang dari orang-orang yang mengaku bersaudara
dengan kita. Aku simpan uang itu dibawah tempat tidur, kadang cucu kita bilang
uang itu sudah taklagi bernilai. Ah, aku tak perduli. Uang itu untuk kita pergi
ke kota mas, jalan-jalan ke pasar malam seperti yang pernah kau ceritakan. Membeli
manisan pasir merah muda yang pernah kau ceritakan padaku.
Mas aku kini telah makan cukup dan
punya uang, jadi untuk pertama kalinya aku meminta sesuatu dari mu. Bolehkah
kau pulang dan menemuiku? Aku bosan mendengar ucapan orang tentang kematianmu
yang tragis. Aku telah siap dengan kedatanganmu dari balik gunung, kau datang
membawa sekarung beras dan sepotong tempe bongkrek
buatan desa sebelah yang terkenal itu, aku telah siap mas. Kau tak usah
meragukan kesetiaanku mas, aku masih menunggumu. Jika kata pepatah menunggu itu
berarti setia, maka kau tahu apa yang kulakukan selama ini kepadamu. Oh ya
hampir lupa, sampaikan pula pada teman-temanmu bahwa istri mereka telah kawin
dengan orang lain bahkan ada yang sampai 2-3 kali, lagi lagi kau tak perlu
gusar denganku.
Mas kau tahu, kata si Slamet anak
kita, usiaku sudah 90an, hampir mau satu abad. Ah, lama benar kau pergi. Aku takut
kau kaget dengan rambutku yang sudah memutih dan kulitku yang tak lagi
menampung daging muda. Mas, kau tahu sekarang entah berapa kali negara kita
berganti presiden, lagi-lagi karena aku tak pandai berhitung. Rasanya banyak
sekali yang ingin kuceritakan mas, kurasa kaupun punya segudang cerita di desa
balik gunung sana. Kau jangan khawatir mas, jika kau kembali aku akan menjadi
orang yang pertama melihatmu. Karena kau tahu, aku selalu menatap kehadiranmu
dari balik jendela, terus menatap dalam kenanaran mataku yang tak lagi belia,
terus menunggumu dalam setia.
Gondrong, 20 Agustus 2016
Untuk seseorang yang tetap menungu, percayalah karena
menunggu itu berarti setia..
Komentar
Posting Komentar