SENI RUPA ISLAM NUSANTARA SEBAGAI WORLD HERITAGE
Budaya sebagai mediasi
konflik, sebuah pengantar
Peace
cannot be kept by force, it can only be achieved by understanding…
Karena perdamaian merupakan harapan setiap manusia,
maka hampir tidak ada manusia di dunia ini yang menentang perdamaian. Berbagai
deklarasi perdamaianpun telah menghiasi catatan sejarah dunia sejak tarikh
sebelum masehi. Hingga pada tahun 1991 Majellis Umum PBB melalui Resolusi Nomor
55/282, menetapkan tanggal 21 September sebagai Hari Perdamaian Dunia (the International Day of Peace).
Deklarasi Perdamaian nyatanya hingga saat ini belum cukup kuat menegakkan
perdamaian dengan seutuhnya. Karl Marx, seorang pemikir klasik yang lahir
setelah dua revolusi besar pecah di daratan Eropa mengungkapkan bahwa sejarah
umat manusia merupakan sejarah pertentangan kelas.[1]
Pertentangan akan sebuah kondisi pluralistik, menyebabkan adanya
ketidakseimbangan yang melahirkan konflik. Sebuah kondisi antara dua orang atau
lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[2]
Ditengah semakin maraknya konflik dan kekerasan di
dunia, berbagai alternative jawaban sebagai resolusi sangat dibutuhkan. Pendekatan
legal-formal pihak pemerintah negara melalui aparat keamanan cenderung bersifat
represif. Perlunya resolusi konflik alternative yang mampu berdialektika dengan
struktur sosial guna mewujudkan tatanan yang madani. Salah satu alternative
resolusi yang di tawarkan Indonesia untuk dunia adalah sebuah filosofi akan
kebijaksanaan yang terkristalkan dalam pesan kearifan budaya lokal. Dalam dunia
global yang multikultural ini, pemahaman akan ‘kolaborasi kemanusiaan’ diatas
perbedaan menjadi sangat penting. Wayang menjadi salah satu kearifan budaya
Indonesia yang kental akan ruh perdamaian diatas pluralisme. Seperti yang
diungkapkan Moerdowo, kisah inti cerita pewayangan secara filosofis
melambangkan bagaimana manusia mendapatkan kedamaian dalam hidupnya.[3]
Wayang Untuk Dunia, Ketika
Wayang sebagai media perdamaian Tanah Jawa
Seni perwayangan merupakan kebendaharaan kebudayaan
nasional yang berkembang pesat di tanah Jawa. Wayang sebagai hasil karya para
pujangga telah diturunkan dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Wayang
hadir sebagai ‘guru’ kehidupan dalam masyarakat Jawa. Dunia perwayangan ikut
serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsepsi
konsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam menghadapi persoalan hidup.[4]
Hal ini yang menjadikan para penguasa pada zaman itu menjadikan wayang sebagai
media dalam penyampaian pengetahuan, falsafah hidup, nilai-nilai budaya,
kepercayaan/agama hingga legitimasi sebuah kekuasaan.
Keberadaan wayang sampai saat ini mengalami
kesulitan pembuktian tentang awal terbentuknya wayang. Seperti yang diungkapkan
Dr. J. L. C Brandes, bahwa wayang telah ada sebelum zaman Hindhu-Buddha di
Jawa. Sedangkan N.J Krom menyatakan bahwa kebudayaan wayang berasal dari India.[5]
Terlepas dari sejarah awal terbentuknya wayang di Jawa, wayang memegang peran
penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Khususnya dalam Islamisasi tanah
Jawa.
Historiografi
(penulisan sejarah) kedatangan Islam di Nusantara masih mengalami perbedaan
pandangan sehingga melahirkan berbagai teori masuknya Islam di Nusantara.
Kebanyakan sarjana Barat percaya, penyebaran Islam baik secara sporadis maupun
secara dakwah besar-besaran di Nusantara diperankan oleh pedagang Muslim.[6]
Sembari melakukan perdagangan di wilayah Nusantara, maka nucleous komunitas-komunitas Muslimpun tercipta. Kemudian para
pedagang Muslim melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal yang memungkinkan
mereka atau keturunan mereka mencapai kekuasaan politik yang mempermudah
penyebaran Islam. Seperti pada kasus keruntuhan Kemaharajaan Majapahit yang
ditandai dengan Islamisasi raja-raja vassal pesisir pantai, membuat mereka
memisahkan diri dari payung Majapahit untuk kemudian membuat negara sendiri.[7]
Terlepas dari berbagai pandangan keagamaan orang
Jawa yang dikaitkan dengan “Islam Kejawen”,
“Islam Abangan”, “Sinkretsme Jawa”, “Kebatinan”, “Agama Jawa”, “Ilmu Klenik” dan
lain sebagainya yang menurut Koentjaraningrat merupakan kecenderungan umum
saja.[8] Atau
anggapan bahwa Islam Nusantara bukanlah “Islam yang sebenarnya” karena telah bercampur
dengan budaya lokal dan berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang dianggap
kekeliruan fatal oleh Greetz.[9]
Namun, Islam di Jawa dapat tertanam sedemikian apik hingga menjadi agama
mayoritas di tanah Jawa. Islam di Jawapun tersampaikan dengan jalan perdamaian
melalui berbagai mediasi, salah satunya adalah Seni Rupa Wayang.
Raden Said atau yang dikenal dengan Sunan Kalijaga
adalah tokoh penyebar Islam yang aktif menggunakan wayang sebagai mediasi
dakwah. Wayang yang telah ada di bumi Jawa sebelum Islam datang, merupakan
adopsi dari epos Ramayana dan Mahabarata yang merupakan kebudayaan Hindhu.
Wayang yang masih menyerupai bentuk manusia, diubah hingga tak lagi menyerupai
bentuk manusia. Pertunjukan wayang yang diselenggarakanpun menyimpan berbagai
makna filofofis ke-Islaman yang disisipkan. Baik dalam cerita yang dibawakan
maupun dalam ritual yang dilakukan sebelum memulai pertunjukan. Misalnya, Sunan
Kalijaga kerap kali mengadakan pertunjukan wayang di tepi parit, agar mudah
mengajarkan penonton untuk mencuci kaki sebelum masuk area pertunjukan. Sebuah
makna simbolis wudhu yang disampaikan dengan bijak.
Pertunjukan wayang yang dipertontonkan secara
gratis, membuat peminat wayang semakin banyak. Pertunjukan dilakukan dari
kampung ke kampung memberikan hiburan gratis pada masyarakat, kemudian
mengajarkan nilai-nilai keIslaman melalui lakon
yang dibawakan. Sunan Kalijaga atau yang sering menggunakan nama Ki Dalang Sida Brangti mulai
memperkenalkan Tuhan untuk kemudian mengajarkan pengucapan dua kalimat syahadat.
“Jika wayang digerakan
oleh dalang, maka siapa yang menggerakan dalang?”
Tidak
hanya lakon yang dimainkan dan ritual
yang diajarkan, namun beberapa kidung
dan tembang berupa lagu Jawa yang
dinyanyikan diantara selingan pertunjukan wayang menyimpan filosofi kehidupan
yang sarat akan nilai-nilai ke-Islaman. Islamisasi dengan mediasi wayang ini
dilakukan dengan pendekatan masyarakat yang bertahap, mengikuti sambil
mempengaruhi.
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang bersifat universal, artinya ajaran Islam
tidak hanya ditujukan kepada salah satu kelompok melainkan seluruh manusia,
bahkan jagat raya tersampaikan dengan bijak di Tanah Jawa. Penyebaran dakwah
Islam dengan bersenjatakan kearifan lokal cerita perwayangan, telah berhasil
mengislamkan masyarakat Indonesia dengan penuh kedamaian dan mampu membangun
tatanan masyarakat yang cinta damai. Uniknya, ‘kolonialisme’ agama dan
peradaban yang berlangsung dengan nir kekerasan dan nir-chaos ini, timbul di masyarakat.[10]
Kini, ketika wayang telah diakui sebagai
warisan kebudayaan dunia dan menjadi perhatian masyarakat dunia. Ajaran
kearifan lokal tata nilai perdamaian dapat digunakan sebagai salah satu
alternative atas involusinya konflik kemanusiaan. Melalui filosofi lakon wayang yang mencakup paradigma perdamaian
yang dapat dijadikan rujukan atas konflik yang tercipta dalam interaksi
manusia. Penghidupan atas peradaban kearifan lokal diantara persimpangan
upaya-upaya harmonisasi konflik SARA dan berbagai konflik lainnya di dunia
menjadi solusi yang ditawarkan Islam Nusantara terhadap permasalahan perdamaian
dunia.
Kesimpulan
Sejarah telah
membuktikan betapa wayang sebagai media dakwah awal penyebaran Islam di tanah
Jawa dapat dikatakan sempurna. Karena penyebaran Islam menggunakan kearifan
budaya lokal di Tanah Jawa tersebar demikian bijak tanpa adanya kekerasan dan
pemaksaan. Lakon wayang yang merupakan hasil karya peradaban bangsa Indonesia
yang merupakan saduran dari epos Mahabarata dan Ramayana, syarat akan nilai
perdamaian. Melalui perdamaian, ajaran Islam yang disisipkan dalam lakon wayang menjadi mudah diterima
diatas pluralisme Nusantara.
Ditengah maraknya konflik perdamaian
dunia, kebudayaan Indonesia menawarkan sebuah solusi melalui kearifan budaya
lokal yang kini menjadi budaya Global. Ketika masyarakat dunia telah jenuh
dengan berbagai solusi legal-formal yang biasanya ditawarkan, jalan yang bijak
diantaranya adalah kembali pada suatu kearifan budaya. Pendekatan kultural pada
hakikatnya adalah mediasi kemanusian yang bersumber dari hati guna tercapainya
perdamaian yang berkelanjutan.
Referensi
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaharuan Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Darsono.
Karl Marx Ekoonomi Politik dan Aksi-Revolusi . Jakarta: Diadit Media,
2007.
Greetz,
Clifford. The Religion of Java. New York: Free Press, 1960.
Haryanto.
Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1988.
—. Seni
Kriya Wayang Kulit, Seni Rupa Tatanan dan Sunggingan . Jakarta: PT
Temprint, 1991.
Kartodirjo,
Sartono. Modern Indonesia Tradition and Transformation. Yogyakarta: UGM
Press, 1991.
Koentjaraningrat.
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Moerdowo.
Wayang, Its Significance in Indonesian Society . Jakarta: Balai Pustaka,
1982.
Muljana,
Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2006.
Mulyono,
Sri. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya . Jakarta: Gunung
Agung, 1982.
Nugroho,
Dany Haryanto dan Edwi. Pengantar Sosiologi Dasar. Jakarta: PT Prestasi
Pustakarya, 2011.
Woodward,
Mark. Java, Indonesia and Islam . New York: Springer, 2011.
[1] Darsono, Karl Marx Ekoonomi
Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media, 2007), h. 78
[2] Dany Haryanto dan Edwi Nugroho, Pengantar
Sosiologi Dasar, (Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2011), h. 113
[3] Moerdowo, Wayang, Its
Significance in Indonesian Society, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982)
[4] Haryanto, Seni Kriya Wayang
Kulit, Seni Rupa Tatanan dan Sunggingan, (Jakarta: PT Temprint, 1991), h. 1
[5] Ibid., h.12
[6] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar
Pembaharuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 12
[7] Haryanto, Pratiwimba
Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Jakarta:Penerbit Djambatan,
1988), h. 208
[8] Koentjaraningrat, Kebudayaan
Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h.310
[9] C. Greetz, The Religion of
Java, (New York: Free Press, 1960)
[10] Op. Cit., Azyumardi Azra
Komentar
Posting Komentar