MENGEJA




Rasanya hampir lupa membaca kembali setelah lama tak mengeja. Inilah aku mengerti mengapa Tuhan selalu membuat bumi berputar sedikit demi sedikit dengan kecepatan yang begitu stabil. Mungkin agar ia tak lupa caranya berputar, setelah berhenti. Ah, stagnasi yang terlampau berlarut ini harus sesegera mungkin kusudahi. Bahkan kereta Walahar Expres 322A jurusan Purwakarta-Tj Priokpun harus terus melaju, tanpa mengindahkan stagnasi bathok kepala ini.
Empat AC dalam gerbong KP3 065 02, rasanya hanya ornamen dalam realitas sebuah gerbong tua. Semilirnyapun tak sampai hati membelai ribuan peluh yang berdesakan. Lengket dan asam. Sementara, aku dan Nur saling berenang, hanyut dan tenggelam dalam pikiran kita masing masing. Dibarengi hijaunya ladang persawahan Karawang yang semakin saja berkurang hektarnya. Nampaknya perjalanan Purwakarta-Jakarta kali ini akan terasa biasa saja, setelah kami mengulangi hal yang sama untuk kesekian kalinya.
Pikiranku kembali tertuju pada masalah yang selama ini membuat bayang-bayang dilematis. Membenarkan yang benar menjadi semakin afdhal saja dibanding membiasakan kebenaran. Kemiskinan pemikiran menjadi penyakit akut yang kian bersemi bak jamur di musim penghujan di tunggak kayu sengon. Copy paste pikiran dengan mudah dilakukan setiap orang, bahkan untuk sebuah tugas akhir. Aku menjadi teringat Helen Keller dalam kisahnya yang ditulis dalan The Story of My Life, harus merasakan disidang didepan 10 orang, 5 orang normal dan 5 orang lainnya sama sepertinya (tunanetra dan tunarungu). Ia harus menepiskan perasaan takutnya untuk kembali menulis. Sebuah cerita The Frost King yang ia tulis ternyata merupakan kumpulan ingatannya tentang sebuah cerita The Forst Fairies yang ditulis oleh Nona Margareth T. Canby yang dibacakannya sewaktu masih kecil. Itu terjadi pada 1892, betapa orang orang begitu membenci plagiatisme. Namun, mengapa kini di negeri kami hal itu begitu menjamur tak terkendali.
Memang kesulitan terbesar menulis adalah bagaimana membuat bahasa pikiran yang mampu mengekspresikan pikiran kita. Ketidak pedean dan tergiurnya mental generasi instan mendorong kegiatan plagiatisme merupakan yang insyaAllah sah. Padahal menurut nenekku sejatinya sifat yang demikian bukan menjadi naluri seorang manusia. Berenang renang dalam abstraksi pikiran dan waktupun diputar mundur.
***
Uyeg uyeg kidang mlakune njlugrang njlugrang
Uyeg uyeg kancil mlakune srintil srintil....
            Masih sama terdengar merdunya, meski kini sudah sedikit berirama pelo. Aku terus mengamati adik kecilku yang belum lagi berjalan hangat dalam rengkuh peluk nenekku. Konon dengan di nyanyi-nyanyikan didepan pawon dengan hangatnya bara dipagi hari akan merangsang tulang-tulang kakinya untuk segera berjalan bahkan berlari layaknya kijang atau kancil. Aku dan sepupu-sepupuku menyimak dengan pikiran yang sama, sewaktu kecil posisi adik kecilku itu diisi kami secara bergantian. Hangat dan mesra.
            Seperti biasa di desa kami sebelum anak-anak beranjak ke sekolah ia akan menunggui pawon yang tengah digunakan untuk menanak nasi. Setelah itu, kami merindukan air tajin (air seputih susu sisa menanak nasi), dengan secuil gula merah kami aduk air tajin sembari membayangkan segelas susu hangat meminumnya disertai gelak tawa bahagia. Sementara, di ibu kota ribuan masa Suara Ibu Peduli (SIP) tengah memperjuangkan hak anak-anak mereka yang tidak dapat mendapatkan susu. Akhir abad dua puluh, menjelang reformasi harga susu anak-anak melonjak bahkan mencekik leher. Selain mahal, susupun sulit di dapat. Hal ini yang membuat ribuan masa ibu-ibu turun kejalan dalam suatu bentuk protes terhadap mereka yang diatas. Bermil-mil dari ibu kota, anak kampung kami tak mengenal susu selain ASI (Air Susu Ibu). Bagi kami, hanya mengenal air tajin dengan secuil gula merah.
            Semangat dalam air tajin mengiri kegembiraan yang rasanya meluap-luap dalam hatiku yang masih kecil. Hari ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah yang disebut Taman Kanak-Kanak Limbasari. Sebuah TKK yang awalnya hanya mermodal swadaya masyrakat kini menjadi sumber kehidupan beberapa guru, penjual makanan, penjual mainan hingga penjual kepompong dan ikan cupang. Sebenarnya usiaku belumlah layak memasuki TKK. Namun karena keinginanku yang kuat dan rasa percaya diriku yang tak lagi diragukan, aku mendapat izin mengikuti TKK dengan mejadi bawang kotong (ikut-ikutan) sepupuku yang terpaut satu tahun lebih tua dariku.
            Semua orang di ruangan itu nampak keren dengan seragam kotak-kota biru yang nyentrik, celana dan rok biru dikaitkan dengan gesper hitam, tangan dilipat di meja, pandangan lurus kedepan dan semua nampak serempak. Seketika aku menjadi perhatian karena aku sendiri tidak berpakaian sama seperti mereka, aku tak berseragam. Dalam hatiku terbesit rasa yang aneh ketika mereka melihat dan menertawakanku atau sekedar berbisik-bisik dengan teman sebelahnya. Perasaan ini sungguh aneh, kata sepupuku itu namanya ‘malu’. Aku harus malu karena berbeda, karena tak memakai baju kotak-kotak biru dengan gesper hitam mengkilap nyentrik di tengahnya, aku harus malu karena aku tak melipat tangan di meja. Rasanya hatiku ingin meledak, seperti ada yang ingin segera keluar dan segera meracuni mereka yang menertawaiku. Akhirnya, mataku merespon hati dengan sebuah tangisan yang mengantarkanku pulang dalam pelukan nenek.
“Nek, aku ga mau sekolah lagi.” Kataku setelah sembuh dari sesenggukan rangkaian tangisan yang begitu aneh.
“Lho, kenapa to nduk?” Tangannya yang sudah mulai mengeriput membelai rambutku yang masih lagi rapi setelah menggunakan minyak rambut Orang Aring.
“Aku malu nek, ga pake segaram dan anak-anaknya pintar bernanyi dan berhitung. Sedang aku hanya mampu mengeja. Aku tidak tahu angka dan nada nek, aku hanya bisa mengeja. Aku hanya bisa mengeja.” Tangisan itu kembali meledak dipelukan hangat nenekku.
Nduk, malu dan minder itu bukan naluri manusia yang sebenarnya. Sekarang nenek akan ceritakan bagaimana kamu lahir hingga mampu mengeja. Dulu kamu adalah jabang bayi yang lemah, kamu hanya bisa menangis. Kamu tak tahu apa itu dunia dan isinya. Ketika kamu melihat benda, kamu akan melakukan apa yang disebut Bapak Guru sebagai penelitian. Kamu melihatnya, menyentuhnya, memuntar, mengangkat, memasukan kemulut, menempelkan di telinga, hidung dan lain sebagainya sampai kamu paham benda apa itu.” Desahan nafas nenek begitu terdengar jelas dengan buah dadanya yang masih indah dan semakin indah dengan ornamen keriput di sekitarnya hingga menuju leher.
“Kemudian kamu belajar berjalan, dari merangkak, duduk kemudian merangkak. Pernahkah kamu berpikir ‘Aaah, berjalan amatlah susah. Jika seperti itu, aku akan merangkak saja seumur hidupku’ pernah menjumpai hal seperti itu?”
Aku menjawabnya dengan geli dan menggeleng.
“Nah, itu naluri manusia sebenernya nduk. Tidak kenal menyerah, tidak mengenal gagal, meski sudah jatuh berkali-kali. Memahami bahasa orang dewasa secara sempurna, meskipun tidak diajarkan dalam kandungan. Justru manusia mengenal minder, malu, gagal dan menyerah atau penyakit hati lainnya ketika mereka menginjak bangku sekolah dan mengalami tekanan bersama teman-temannya. Saiki  paham ta nduk?” Panjang lebar nenek menjelaskan.
Inggih nek.” Disertai ranum senyum bahagia mengerti meski tak sepenuhnya.
Saiki tinggal kamu pilih menjadi naluri manusia yang digariskan Gusti Sing Ngecat Lombok apa kamu pilih merangkak seumur hidup koyo jabang bayi yang tadi diceritaken.”
***
“Naluri manusia yang sebenarnya, siapa yang pertama meracuninya?” Tanyaku tanpa mengharapkan jawaban Nur yang tak terlihat memperhatikanku. Dan derit keretapun berhenti di Stasiun Tanjung Priok menandakan kami harus segera melanjutkan aktivitas mendampingi ibu kota dengan segala kekejamannya dan keindahannya.


Jalan Pemuda, 13 Julli 2017
Cerita ini aku dedikasikan untuk nenekku tercinta, yang senantiasa berintelektual meski tanpa mengecap bangku sekolahan

           

            

Komentar

Postingan Populer