Bukan Dunia Dongeng


Aku terbangun oleh sinar yang nampak menyilaukan menembus dinding rumah tuaku. Orang-orang menyebut dinding gedhek, dinding anyaman bambu yang dilapisi labur (cat putih kering) yang mulai tak terlihat putihnya. Matahari ternyata telah naik 45 derajat dari tempat persembunyiannya. Seperti biasa aku harus bergegas membantu bapak dan simbok merawat sawah bengkok milik pak Lurah. Sudah menjadi pemandangan yang biasa anak seusiaku bergelayut dengan lengketnya tanah persawahan. Kini usiaku menginjak 15 tahun, usia yang telah dianggap pantas pula untuk membantu abangku memasak sadapan nira untuk dijadikan gula jawa. Abangku memang seorang penderes atau penyadap nira untuk dijadikan gula jawa. Dia telah menduda selama dua tahun, kerana ditinggal mati istrinya sewaktu melahirkan anak pertamanya. Tugas istrinyapun kini dilimpahkan ke aku, kadang ke adik-adikku, Sri dan Tin yang tak jauh berbeda umur denganku.
Hari ini aku mendapat datang bulanku yang pertama, suatu pertanda aku telah menjadi perempuan dewasa dan siap menjadi seorang ibu. Simbok pun telah mengomel ngomel agar aku segera menikah sebelum menjadi perawan tua. Karena perempuan di desa kami telah dianggap perawan tua jika menginjak 16 tahun belum pula mendapat laki.
“Ning, sudah kau pikirkan niat baik Parman meminangmu?” ucap simbok sambil membereskan pongkor-pongkor (tempat menampung nira, terbuat dari bambu).
Pangestune simbok, Ning nurut” jawabku sambil menatap senyum mengembang simbok
Akhirnya aku dan Parmanpun resmi menjadi suami istri, lelaki jakung itu terpaut 15 tahun diatasku. Layaknya laki laki lain di desa kami, Parmanpun seorang penderes dan aku seorang pemasak nira yang ulung. Setiap hari kami jalani rutinitas itu ala kadarnya, seperti aliran air dalam sebuah sungai yang tenang. Meski kerap kali aku kerap merasa kurang dalam mencukupi kebutuhan, namun kata simbok kita harus bersyukur dan tetap mengabdi pada suami. Aku menjadi istri yang sempurna karena di tahun kedua pernikahanku aku melahirkan seorang putra. Kuberi namanya Kresna, agar kelak ia menjadi manusia layak dewa seperti Kresna dalam dunia perwayangan yang terkenal baik hati, tidak sombong dan adil.
***
 “Ra iso nderes aku bu, nek koyo ngene terus ujane” guman suamiku sambil mengasah celurit yang akan digunakannya untuk menyadap nira.
“Sabar pak” kataku sekenanya.
Brraang!!! Suara datang dari rumah sebelah, kedapatan sebuah pohon kelapa tumbang mengenai rumah tetangganya. Disusul pohon lain tumbang dan beberapa ranting berterbangan mengikuti kencangnya angina dan petir.
“ Masya Allah, piye iki Pak?” kataku panik sambil mendekap Kresna kecil.
“Hujan semakin tak karuan bu, bawalah Kresna dan larilah kerumah simbok. Disana persawahan, tak ada pohon tumbang. Lebih aman buat Kresna.” Suamiku menenangkan.
Suamiku memotong daun pisang sebagai payungku dan memberiku isyarat untuk cepat lari kearah rumah simbok. Karena hujan semakin lebat dan pepohonan kelapa mulai tumbang. Akupun berlari hingga hilang dari pandangan suamiku.
***
Aku hanya terdiam membayangkan setelah ini apa yang bisa dikerjakan suamiku dan para penderes lainya. Hampir tak ada pohon kelapa yang tersisa, luluh lantah termakan badai hebat kemarin. Tak hanya pohon kelapa, rumah-rumah yang hanya terbuat dari gedhek pun tak mampu menahan pohon kelapa yang menimpanya.
“Aassuu buntung! Saiki sek opo bu? Aku iso kerja opo?” suamiku menangis menahan amarah, matanya merah semerah mukanya.
“ Gusti Pangeran lagi murka pak.” Kataku dengan pikiran kosong
“Omongke Gustimu iku, kenapa ngga matikan semua orang saja! Daripada harus mati perlahan dengan membunuh sumber penghidupan satu-satunya ini!” suamiku tak bisa lagi menahan amarahnya.
Aku membiarkannya lebur dan tenggelam dalam sedih dan amarahnya, maklumlah dia tak pernah memiliki keahlian lain selain nderes, apalagi menginjak bangku sekolahan kaya anak priyayi. Kutinggalkan dia sendiri dalam sumpah serapahnya kepada Tuhannya.
***
“ Bu, aku diajak Darso ke Jakarta. Aku mau bawa kamu dan Kresna bu.” Kata suamiku dengan berseri.
“Jakarta iku opo Pak?” kataku sambil mengganti celana si Kresna yang habis mengompol.
“ Jakarta itu tempat orang mengadu nasib bu, orang bisa cepat kaya di Jakarta. Makan enak dan hidup enak. Kita ngga perlu lagi makan nasi aking sama garam setiap hari bu. Kita bisa makan nasi pake ayam.” Suamiku menatap kelangit larut dalam khayalan.
“Tapi, kesana mbokya butuh ongkos pak?”
“Bosnya Darso orang Cina bu, dia sudah impoten, ngga bisa punya anak. Dia pengen anak laki-laki bu. Dia bersedia bayar setengah juta buat seorang anak laki-laki.”
“Maksudmu pak? Mau jual Kresna?!” tanyaku dengan bola mata hampir keluar dari kelopaknya.
“Bu, dijaman Krismon seperti ini nyawa bisa ditukar dengan semangkuk nasi bu. Ini setengah juta cukup untuk kita hidup di Jakarta, setelah itu kita bisa bikin anak lagi bu.” Bujuk suamiku.
“Edan kowe Pak! Edaaann!!!” kataku menahan bening yang meleleh dipipi.
“Pokoknya kalau sampai bapak ngejual darah dagingku demi duit, Bapak lebih hina dari Londo dan Jepang! Aku ndak sudi punya suami kaya bapak lagi!” kataku meninggalkan suamiku yang masih terdiam, berpikir hebat.
Pikiranku kacau, rasanya beribu buah kelapa tepat menimpa ubun-ubunku. Aku tak habis pikir suamiku tega berpikiran seperti itu, uang telah menggelapkan nuraninya. Aku terlelap bersama ribuan buah kelapa menimpa ubun-ubunku sembari meneteki si Kresna yang sudah terlelap namun, mulutnya masih menghisap tetek montokku.
***
Aku terbelalak melihat uang lima ribuan bergambar monyet bertebaran di dipan tempatku menidurkan Kresna.
“Sepertinya kau kelelahan bu, maaf tadi tak membangunkanmu untuk berucap perpisahan dengan Kresna. Ahh lagi pula dia belum bisa ngomong, dia belum bisa apa apa.” Kata suamiku tanpa dosa.
“lihat bu?! Banyak ya uang kita.” senyum mengembang terlihat bengis di wajah keriput suamiku.
“Edan kowe Pak!!! Duh Gusti, kowe keterlaluan tenan pak!” kataku setelah menyadari apa yang terjadi. Spontan aku merobek robek uang haram diatas dipan itu, tak perduli berapapun jumlahnya. “Pokoknya aku minta cerai pak, cerai! Sekarang juga!” kataku meraung-raung sambil merobek-robek uang diatas dipan.
“Asssuu! Kurang Ajar!!! Emang kamu bisa dapet duit segitu banyak?!” kata suamiku sembari menarik rambut ikalku untuk menghentikanku merobek uang-uang itu. Aku menangis sambil meraung, tapi tak dihiraunya.
“Saiki kowe tak cerai! Pergi kowe dari rumahku! Pergi!” kata suamiku dipuncak kemarahannya.
Aku segera lari dari rumah jahanam dan iblis penghuninya itu. Karena kami hanya menikah atas dasar agama, resmilah kami cerai tanpa harus melalui Kantor Urusan Agama. Dia bukan lagi suamiku. Dia lelaki pengangguran kere yang tak punya apa apa termasuk hati dan nuraninya, kini bukan lagi bapak dari anakku.
***
Aku berjalan mengikuti kaki, aku tak berani mengadu kepada simbok karena aku tahu simbok telah terlalu banyak beban hidup diusia senjanya. Aku tenggelam dalam lamunanku, aku teringat dongeng sirambut pirang yang dipisahkan dari keluarganya oleh nenek sihir, kemudian dipertemukan kembali dalam bahagia selama-lamanya. Aku tersenyum teringat Kresna, entah dia dimana. Akankah seperti dongeng sirambut pirang? Tapi aku sadar ini bukan negeri dongeng, ini negeri dimana uang membutakan segalanya dan aku terus melangkah.

(true story: 1998-1999)
Dengan improvisasi cerita dan nama samaran


Komentar

Postingan Populer