Independensi Media terhadap Perpolitikan di Indonesia
"Media adalah alat yang paling ampuh bagi publik untuk mengontrol politisi. Sebagai representasi dari kepentingan publik, medialah yang paling berperan sebagai wakil publik dalam mengontrol perilaku para politisi. Publik tidak akan menanggung beban dan akibat dari kebijakanyang dirumuskan, disetujui, dan diputuskan berbagai pejabat publik.” Lewis Powell – Hakim Agung di Amerika Serikat.
Diera yang serba
digital sekarang ini tidak heran jika dunia media berkembang pesat. Didukung
lagi dengan diberlakukannya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang mengatur
kebebasan Pers. Dalam Undang-undang Pers, Pers diartikan sebagai lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa, yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi,
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan dengan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media eletronik, dan segala saluran yang tersedia. Ini jelas berbeda dengan
zaman kepemimpinan Soeharto ketika dunia pers dibekukan. Dengan adanya
Undang-Undang kebebasan pers tersebut, sudah semestinya tidak ada lagi suara
yang dibungkam di negeri ini. Termasuk kebebasan pers sebagai instrument massa
sebagai wujud demokratisasi sebuah negara demokrasi.
Secara etimologis, politik berasal dari kata
Yunani, yaitu, polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang
menjadi polites yang berarti
warganegara, politeia yang berarti
semua yang berhubungan dengan negara, politika
yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Politik
adalah (pengetahuan) mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar
pemerintahan).[1]
Namun ketika politik adalah visual, politik akan menjadi sirkus.[2] Politik
akan menampilkan pertunjukan dengan episode yang berbeda setiap harinya. Sedangkan
media adalah alat (sarana)
komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; yang terletak di antara dua pihak
(orang, golongan, dan sebagainya).[3] Politik
dan media tumbuh subur di negara demokrasi, negara yang menurut John Locke dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Lalu apakah ada
korelasi antara politik dengan media? Sejauh mana politik mempengaruhi media
atau media mempengaruhi politik? Lebih dari dua puluh tahun silam, ketika kasus
pemerintahan di Asia Tenggara di protes oleh rakyatnya melalui gerakan rakyat. Misalnya,
di Filipina tahun 1986, gerakan People
Power berhasil menggulingkan Marcos dari kursi kepresidenan. Di Thailand
tahun 1992, pemerintahan Suchinda Kraprayoon berhasil ditumbangkan dengan gerakan
yang dikenal dengan peristiwa Mei. Di Indonesia sendiri sudah tidak asing lagi
dengan peristiwa 98 yang berhasil meruntuhkan rezim Soeharto. Sejarah telah
membuktikan kebebasan pers akan memberikan dampak yang besar, mendukung
transisi demokrasi dan meruntuhkan rezim otoriter. Namun, tak jarang suatu
tahta yang naik dalam dinamika kekuasaan suatu negara dikarenakan promosi yang
gencar melalui media. Jadi, media mampu menjadi sebuah institusi politik atau
menjadi agen perubahan dalam suatu rezim kediktatoran.
Media dianggap mewakili
suara orang-orang yang membacanya, kadang perspektif kitapun adalah perspektif
yang dipublikasikan media. Lalu kepada siapa keberpihakan perspektif itu? Dalam
negara demokrasi seperti Indonesia media akan memihak rakyat. Karena itulah
essensi pers negara demokrasi, media sebagai penghatar. Melalui media, rakyat
mampu mengetahui perilaku politik para pemerintah, dinamika peristiwa politik
hingga kebijakan-kebijakan politik baru. Media membantu pembaca untuk cerdas
berpengetahuan politik, cerdas dalam kehidupan demokrasi. Namun, apa jadinya
ketika media justru menjadi instrument politik? Media mampu melakukan
pembohongan publik atau melakukan pengalihan isu. Pengalihan isu untuk menutupi
politisi dan kelakuannya, biasanya akan dilakukan dengan lebih dominan
mempublikasikan hal-hal yang bersifat menghebohkan.
Sedikit mengingat
peristiwa kekerasan antar suku di Indonesia yang masih marak, seperti kasus
Ambon, kasus jemaat Ahmadiyah di Banten, kasus Temanggung dan lain-lain. Aksi kekerasan
ini diduga merupakan rekayasa belaka. Tujuan rekayasa adalah untuk pengalihan
isu politik atau ekonomi yang biasanya sedang hangat yang jika dibiarkan akan
berkembang menjadi konflik vertikal, oleh sebab itu perhatian harus dialihkan
menjadi konflik horizontal. Karena akan sangat mudah dalam menyulut kekerasan
di negeri multicultural seperti Indonesia yang kaya akan suku, ras dan agama. Namun,
tidak hanya pengalihan isu, keberpihakan media pada suatu golongan politik,
kerap kali membuat pengurangan kepercayaan kita kepada media. Media dianggap
tidak lagi bebas, melainkan telah menjadi instrument perpolitikan dalam negeri.
Sudah seharusnya dengan
diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur kebebasan pers. Media menjalankan
peran politik, media mampu melawan bahkan menggulingkan pemerintahan represif. Media memiliki keleluasan gerak
politik, tidak hanya menyuarakan dan tunduk dalam mekanisme. Media akan
berperan mendukung konsolidasi demokrasi, karena hal ini merupakan otonomi
politik media. Bukan lagi menjadi instrument perpolitikan bahkan menjadi aktor
politik, media harus kembali kepada rakyat. Jika ini terlalu menyudutkan media,
maka sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang mengatur tentang pelarangan
media sebagai instrument perpolitikan.
Komentar
Posting Komentar