Wanita Jawa atau Srikandi Jawa?


Pertanyaan ini sebenarnya sudah lama terngiang di kepalaku, namun belum menemukan konteks bahasa yang tepat hingga ku urungkan menulis tulisan ini. Pertanyaan ini sering muncul di benakku, mungkin aku mewakili sebagian wanita Jawa. Aku adalah wanita Jawa bahkan boleh dikatakan tulen, karena sepanjang sejarah ayah dan ibu sampai buyut-buyutku merupakan orang satu kampung yang notabene adalah orang Jawa. Masa kecil hingga remajaku dihabiskan di sebuah desa antah berantah yang damai dari hiruh piuk masyarakat kota. Namun, ketika pendidikan menuntutku menjelajah kota, membuatku membuka pikiranku sebebas-bebasnya. Apalagi tinggal dan menuntut ilmu  di Ibu Kota yang mengalami mobilitas kehidupan yang begitu pesat. Ini membuatku mau tak mau harus mengikuti alur pemikiran yang lebih terbuka. Begitu asiknya mengkritisi segalanya, beradu argument dan berlomba lomba untuk menjadi yang paling idealis.
Ini terjadi ketika aku pulang kampung, ketika nenek sedih melihat perubahan yang terlihat dalam diriku. Aku lebih sedih lagi ketika senyum nenek tergurat kekecewaan. Kemudian aku berusaha memahami filosofi wanita Jawa.
Ternyata wanita Jawa banyak terinspirasi dari tokoh perwayangan, tokoh wayang menjadi refleksi wanita Jawa dalam mencari jati diri dan membangun kepribadiannya. Jika anda mengenal tokoh-tokoh wayang Jawa seperti Bathari Uma, Supraba, Sinta, Sumbadra, Kuthi, Gendari, Amba, dll mungkin ada beberapa watak dari mereka yang sama, yang dijadikan wanita Jawa refleksi kepribadian mereka.
Setidaknya tidak hanya dari tokoh wayang namun dari penyebutanpun kita bisa menganalisis watak wanita Jawa itu. Wanita Jawa sering di sebut wadon, estri, wanita dan putri.
1.        Wadon, berasal dari bahasa Kawi ‘Wadu’ yang secara harfiah abdi atau kawula yang dapat disimpulkan mengabdi kepada suami.
2.       Estri, berasal dari bahasa Kawi ‘Estren’ yang memiliki makna harfiah mendorong atau mendukung, wanita mampu menjadi api yang dapat menjadi semangat suaminya dalam perjuangan hidup.
3.       Wanita, berasal dari kata wani lan tata yang artinya berani dan mudah diatur. Karena nantinya wanitalah yang akan mendidik anaknya dan menaati nasihat suaminya.
4.       Putri, merupakan akronim dari putus tri prakawis (menguasai 3 hal). Yaitu: masak, macak dan manak. Yang artinya wanita Jawa itu harus pandai memasak, merias diri dan melahirkan anak.
Itu benar benar watak yang terlihat umum di wanita Jawa yang selalu menurut dan menaati nasihat suami, namun jika suami memiliki pemikiran yang kurang baik. Apakah wanita Jawa mampu bersifat kritis jika selalu di doktrin dengan filosofi seperti itu.
Namun saya menemukan sesuatu yang unik, jika memang hampir semua watak wanita Jawa merupakan refleksi dari tokoh perwayangan. Jadi tidak salah, jika menjadi Srikandi dalam segudang peraturan nurut wanita Jawa menurut pandangan nenek saya. Srikandi merupakan tokoh emansipasi dunia perwayangan yang luar biasa, dia menjadi panglima perang bahkan di barisan paling depan. Meskipun demikian gagahnya, Srikandi tetap sendika dawuh kepada suaminya dan tetap menjaga anak-anaknya.
Kini, jika nanti saya bertemu nenek saya dengan situasi yang sama. Kita bukan ingin menghilangkan watak wanita Jawa apalagi malu menjadi wanita Jawa dengan berpura-pura menjadi wanita barat. kita hanya sedang menjadi Srikandi yang bersama kaum lelaki turut serta berperang membela bangsa. Meski bukan lagi pedang dan tameng yang dibawa, melainkan pemikiran.

Komentar

Postingan Populer