Sistem Peruweren Masyarakat Gayo: Manifestasi Kearifan Lokal yang Bernilai Ekonomis

 

(sumber gambar : pixabay)

Peruweren: Kearifan Lokal untuk Ketahanan Pangan (Sebuah Pengantar)

Secara tradisional hampir semua kebudayaan memiliki sistem dalam menyuplai ketersediaan bahan pangan dengan unsur protein. Sistem tersebut bersamaan dengan sistem penyediaan bahan pangan yang mengandung unsur karbohidrat.

Peradaban manusia kuno dengan pola berburu dan meramu atau yang dikenal dengan istilah food gathering menempatkan karbohidrat dan protein sebagai unsur yang cenderung dikonsumsi secara bersamaan.

Sekian banyak sistem produksi sumber protein hewani yang dimiliki oleh kelompok suku di nusantara, salah satunya adalah sistem peternakan kerbau lepas liar pada masyarakat Gayo di kabupaten Gayo Lues, Aceh. Secara kultural sistem beternak kerbau lepas liar pada masyarakat Gayo ini dikenal dengan istilah peruweren.

Seiring dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan, sistem peruweren ini mulai ditinggalkan. Introduksi hewan ternak selain kerbau yang paling umum adalah sapi Bali telah mendesak sistem peruweren ke arah yang tidak lagi dianggap bernilai ekonomis.

Posisi hewan kerbau sendiri pada masyarakat Gayo sebagai sumber protein, namun juga punya nilai sosial. Ternak dilepaskan liar di alam (hutan) dan jika ada keperluan tertentu barulah kerbau-kerbau tersebut ‘dipanggil’ untuk dikumpulkan agar bisa dijual atau dikonsumsi.

Setiap kelompok hewan ternak yang dilepas liarkan di hutan ditanggungjawabi oleh seorang “pawang”. Tidak jarang pemilik kerbau juga merangkap jadi pawang kerbau, yang mampu menjinakkan kerbau yang dilepas di hutan.

Proses mengumpulkan hewan ternak yang liar tersebut biasanya juga diikuti dengan ritual mistis, seperti membakar kemenyan dan membuat selengsung. Kerbau-kerbau yang bertahun-tahun dilepas itu bisa dipanggil kembali oleh sang pawang.

Dalam banyak kisah disebutkan bahwa kerbau yang dilepas pemiliknya di hutan tidak bisa ditangkap oleh orang lain selain pemiliknya melalui pawang. Merujuk pada gambaran tersebut, maka upaya mengembangkan sistem peruweren menjadi sebuah hal yang relevan dalam mendukung lahirnya ketersediaan bahan protein untuk konsumsi masyarakat.

Selain itu, peruweren dapat menjadi katup penyelamat bagi masyarakat pada saat desakan akan kebutuhan ekonomi. Di tengah tantangan yang muncul seiring dengan program pembangunan yang digalakkan pemerintah daerah, sistem ternak tradisional ini jelas memiliki keunggulan ekologis dan sosial serta juga akan bisa unggul secara ekonomis bila dikelola melalui regulasi yang protektif.

Sistem Peruweren Pada Masyarakat Gayo: Dahulu dan Kini

Gayo merupakan salah satu suku yang berada di Provinsi Aceh. Pada masyarakat Gayo, kerbau merupakan hewan ternak yang digunakan untuk membajak sawah. Sistem peruweren banyak dijumpai di Kabupaten Gayo Lues berpusat di Desa Gajah.

Para pemilik kerbau membawanya dari Kota Blangkejeren dan Kota Lintang, dimana kedua kota tersebut merupakan daerah persawahan yang membutuhkan kerbau sebagai pembajak sawah.

Namun, keterbatasan lahan untuk melepaskan kerbaunya, maka Desa Gajah menjadi pilihan untuk melaksanakan peruweren untuk melepasliarkan kerbaunya pada hamparan lapangan yang luas.

Pada masyarakat Gayo cara beternak ini disebut dengan istilah peruweren (kandang yang khusus digunakan untuk hewan ternak kerbau). Pada awalnya peruweren adalah sistem peternakan masyarakat Gayo dengan menggembalakan hewan ternaknya di tengah hutan dan jauh dari pemukiman masyarakat.

Ada beberapa titik peruweren yang terdapat di Gayo yang rata-rata dapat ditempuh dengan 2-3 hari perjalanan kaki. Selain jumlah hewan ternak yang bisa mencapai ratusan jumlahnya sangat tidak memungkinkan apabila diangkut dengan alat transportasi modern. Hal ini juga akan mempengaruhi biaya produksi yang sangat besar.

Kondisi ini tentu akan tidak sepadan dengan biaya produksi peternakan. Sistem ini dilakukan masyarakat Gayo pada saat masyarakat sedang dalam bercocok tanam atau musim pertanian. Pertanian yang dimaksud di sini adalah padi.

Peternakan yang telah di gembalakan ke tengah hutan (peruweren) dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan akan diambil kembali setelah musim panen padi.

Dalam sejarah perkembangan budaya masyarakat Gayo, sistem peruweren bukan hanya termanifestasi ke dalam pemenuhan kebutuhan pangan saja, namun juga ke dalam bentuk kearifan tradisional.

Salah satu manifestasi kearifan tradisional tersebut dapat dilihat dari nilai-nilai sosial budaya yang terimplementasi dalam aturan-aturan tentang kerjasama dan saling terbuka dan saling percaya (Putra, H.S., 2008).

Kumpulan nilai-nilai tersebut oleh (Putman,1993 dalam Gonner, 2001) sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan saling percaya yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam sistem peruweren, pemilik kerbau memberi kepercayaan kepada peternak yang memelihara kerbaunya dalam jumlah yang banyak. Kepercayaan diberikan tatkala peternak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik yang dibuktikan dengan ikatan kedaerahan.

Ikatan kekerabatan bukan hanya terjalin berdasarkan hubungan darah maupun perkawinan, akan tetapi dapat juga bertalian dari aspek tempat bermukim.

Rata-rata peternak adalah orang kepercayaan dari pemilik kerbau. Pemilik kerbau tidak pernah resah akan kehilangan kerbaunya. Saling kerjasama inilah yang menjadi pondasi terbangunnya kepercayaan diantara sesama.

Fukuyama (1995) dalam Myers OE (2005), menyebutkan bahwa kepercayaan (trust) merupakan salah satu modal sosial masyarakat. Dimana negara dengan masyarakat yang memiliki kepercayaan tinggi (high-trust society) akan mampu mencapai keberhasilan ekonomi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara yang masyarakatnya memiliki kepercayaan rendah (lowtrustsociety).

Kesimpulan

Sistem peruweren merupakan manifestasi kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam bingkai modal sosial masyarakat gayo. Masyarakat gayo lebih memilih kerbau yang diternakkan bukan lembu atau biri-biri.

Terdapat korelasi antara kerbau dengan investasi harga kerbau lebih mahal dari lembu dan biri-biri. Selain itu, kerbau bermanfaat untuk membajak luasnya persawahan di Gayo Lues ini khususnya di daerah Blangkejeren. Kerbau merupakan hewan yang sangat cocok dengan pekerjaan membajak sawah berbeda dengan sapi atau lembu yang agak tidak suka lumpur.

Manifestasi peruweren dapat dilihat dari nilai-nilai sosial budaya yang terimplementasi dalam modal sosial berupa: aturan-aturan tentang kerjasama dan saling terbuka dan saling percaya.

Dalam sistem peruweren, pemilik kerbau memberi kepercayaan kepada peternak yang memelihara kerbaunya dalam jumlah yang banyak. Kepercayaan diberikan tatkala peternak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik yang dibuktikan dengan ikatan kedaerahan.

REFERENSI

Ahimsa-Putra, H.S. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Keraifan Lokal Tantangan Teoritis dan Metodologis. Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta. 2008.

Dear CE, Myers OE. Conflicting Understandings of Wilderness and Subsistence in Alaskan National Parks. Society and Natural Resources. 2005.

Gonner C. Pengelolaan Sumberdaya di Sebuah Desa Anak Benuaq: Strategi, Dinamika dan Prospek : Sebuah Studi Kasus dari Kalimantan Timur, Indonesia. Eschborn. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit. 2001.


Artikel ini telah terbit di https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/11/03/sistem-peruweren-masyarakat-gayo-manifestasi-kearifan-lokal-yang-bernilai-ekonomis

pada November 2023

Komentar

Postingan Populer