Utari, Sang Berhala Cinta
“Hai Utari, pagi yang indah
bukan?” terasa dia mulai menyentuhku,
“Seindah guratan tubuhmu yang
semakin kering dan nampak begitu renyah untuk makanan jangkrik,” dia sungguh
menatap guratan tubuhku dengan begitu lekat. Begitu dekat. Mungkin hampir saja
embusan napas kami tertukar.
“Hahaha janganlah merajuk,
tentu kau tahu aku hanya bercanda. Kau selalu indah Utari, bahkan sejak dihari
pertama tangan itu menciptamu, kau sama indahnya dengannya. Sama besar pula
cintaku padamu dan padanya, Utari.” Dia mengendus aroma tubuhku seolah aku
adalah kuntum mawar yang hendak segera di petik. Begitu lama ia menikmati bunga
mawar itu, hingga tak sadar bahwa si mawar telah lama kering.
“Ku harap kau mampu
mengendalikan rindumu padaku hari ini Utari, karena aku kan pulang petang.” Dan
lagi benda yang selalu tersenyum itu mengecupku, lagi dan lagi. Setelah itu,
tubuhnya menghilang ditelan pintu kamar.
Aku hanya bisa menatapnya,
tanpa tahu apa yang harus kurasakan, bahkan aku tak tahu apa itu ‘merasakan’. Apa
kau pikir diamku berarti setuju dengan semua perangainya padaku??
***
Terik
membakar lapangan basket. Sunyi. Bunga-bunga krokotan[1] menyambut mekar
sang terik, saling tunjuk kemolekan warna. Merah muda, jingga, putih, dan ungu,
terbalut mesra dedaunan segar yang selalu disirami Pak Tanto tiap pagi dan sore.
Dibumbui bahagianya para kupu-kupu memilih kemolekan warna sang krokotan. Sementara, burung emprit[2]
hinggap dan terbang pendek berkejar-kejaran sambil sesekali menertawakan
kesunyian.
TEEETT
TEEETT
TEEETT
Hanya
dalam hitungan detik kesunyian berubah menjadi kegaduhan ratusan anak yang
berjubel, berebut menuruni tangga bergegas pulang. Sekolah Menengah Atas 1
Kecamatan, memiliki 3 lantai dengan tangga yang lumayan sempit atau mengkin
hanya terasa sempit karena anak-anaknya yang tidak mau mengantri dengan baik.
Selintas memang terlihat biasa, Sama seperti standar sekolah lainnya di Indonesia.
Tapi, justru di sekolah pinggiran inilah aku diciptakan dan kisahpun dimulai,
“Jadi ini yang tadi di puji
oleh Pak Wendro?” Pertanyaan retorika bernada menggoda keluar dari salah
seorang anak peremuan yang tengah menuruni tangga bersama kawannya,
“Sial betul hari ini, ku kira
aku akan dipuji kreatif, Malah wayangku dikata makanan jangkrik, huuuufftt”
dengan nada mencibir anak perempuan di sebelahnya menimpali.
“Lalu mau kau apakan Dewi
Utarimu itu? Hahaha”
“Berhentilah mengejek. Tentu
saja akan ku buang, setelah itu kulupakan.”
Braakk, dilemparlah wayang suket[3] ke sebuah tempat sampah yang tengah setengah
penuh.
“Maafkan aku Utari, meski aku
membuatmu dengan sepenuh hati, tapi apalah gunannya, jika tak ada yang
menghargainya. Kau tetap cantik Utari, meski guratanmu lebih layak disebut
makanan jangkrik.” Bergegas si anak perempuan meninggalkan tempat sampah dan
begabung bersama teman-temannya.
Ya,
akulah Utari. Sebuah wayang suket buatan anak SMA yang sedang menuju
dewasa. Apakah namaku mengingatkanmu dengan seseorang? Aahh. Mungkin itu hanya
kebetulan. Atau kau teringat istri Pangeran Abimanyu[4] yang lemah lembut,
sopan-santun dan cantiknya tidak tertolong lagi. Ahh, sungguh aku bukan dia.
Bahkan jauh dari dia, aku hanya wayang
suket, ya wayang suket yang lebih
mirip makanan jangkrik dibanding sebuah alat peraga kesenian. Bukan karena
suatu apa, namun memang penciptaku menciptaku tanpa bakat seni sama sekali,
asal lilit sana dan sini. Dan sama sekali aku tak mirip wayang, apalagi indah
bak Dewi Utari.
Kukira
kisahku telah selesai disini, sebelum akhirnya sebuah tangan memungutku dan
menggenggamku dengan lemah lembut. Membersihkanku dari debu-debu sampah dengan
sebuah tisu basah. Hingga kemudian dia lakukan berulang-ulang setiap hari, Tak
hanya membersihkanku tapi dia juga mempercantik diri ini dengan lembutnya. Merapikan
lilitan-lilitan tak berbentuk tanpa membuangnya. Sungguh laki-laki yang baik,
kukira.
Sumber gambar: https://www.google.com/
***
... wuyungku
ngelayung ngembara ing awang-awang
Tanpo biso nyanding aku mur iso nyawang
Tumetes eluhku deres mili ono pipi
Opo pancen tresno iku ra kudu nduweni..[5]
“Utari, Utari...” Kini
genggamannya basah oleh air matanya sendiri.
Ya, laki-laki itu kini terisak
setelah menyanyikan lagu dengan buta nada dan suara sumbangnya.
“Utari, dengarkan aku.” Dia
menatapku lekat dengan air mata yang masih saja menetes.
“Jika aku memang tak bisa
menikah dengannya, kenapa aku tak menikah denganmu saja?” Kini wajahnya mendekat
dan lebih lekat,
“Utari, maukah kau menikah
denganku?” Dikatakannya dengan sepenuh hati sambil menyatukan kedua tangannya
di depan dadaku. Dengan mata berbinar-binar, dia ucapkan kalimat itu tanpa
dosa, seolah aku adalah seorang dewi khayangan, Dewi Utari, sang berhala cintanya.
Lelaki ini
gila! Dan aku harus menemani kegilaannya selama bertahun-tahun. Awalnya memang
kukira dia lelaki yang baik, menyelamatkanku dari sebuah pemusnahan hina.
Namun, dugaanku salah. Dia lelaki gila, kelewat gila malah. Dia mengagumi
seorang wanita yang selalu dia ceritakan padaku. Dia tahu semua tentang wanita
itu, tapi wanita itu bahkan tak tahu nama si lelaki ini.
Ya,
wanita itu adalah penciptaku. Seorang wanita yang dikaguminya sejak awal masuk
Sekolah Menengah Atas 1 Kecamatan. Lelaki itu selalu melihat si wanita dari
tempat yang tersembunyi, tak terlihat, hingga kemudian membenamkannya dalam
khayalnya tanpa keluar sebagai suatu apapun terhadap si wanita itu. Jangankan
menyapanya, bahkan ketika si wanita tak sengaja menatapnya lelaki itu lemas tak
berdaya mematung tak berguna. Kemudian menceritakan detail mata wanita itu
padaku sampai sebulan penuh, tanpa mengganti diksinya. Tentu saja dengan 99%
bumbu fantasinya dia sendiri. Aku rasanya tak tahan lagi. Aku menyesal
diselamatkannya, aku menyesal menjadi seorang wayang suket, aku menyesal harus diam dan mendengar semua kegilaan
ini.
Dasar
laki-laki bodoh, bagaimana wanita itu tahu dirimu dan perasaanmu jika kau hanya
menjadikanku berhala cintamu, dan menganggapku jelmaan atas penciptaku. Rasanya
aku tak tahan lagi. Dan bagaimana kegilaan ini akan berakhir. Tidak cukup
mencumbuku setiap hari, membelikan apa saja yang dipakai wanita itu, mulai dari
jepitan rambut hingga seragam kerja yang sama dia belikan untukku. “Agar kau
semakin menawan Utari” katanya pada suatu hari. Belum cukup dengan itu semua,
kini dia mengajakku menikah. Kegilaan macam apa ini!
Tumetes eluhku deres mili ono pipi
Opo pancen tresno iku ra kudu nduweni..
Kembali
ia terisak sembari menyanyikan lagu dengan buta nada, namun terdengar begitu
menyakitkan dan tentu saja mem-prihatin-kan.
Rupanya,
wanita itu akan menikah dengan seorang lelaki blasteran Belanda. Setelah lulus SMA, hanya berselang 3 tahun setelah
lulus SMA, wanita cantik ini segera dipinang orang. Meski wanita itu bekerja sebagai
buruh pabrik idep (bulu mata palsu),
nampaknya eksotisme kecantikan ala wanita jawanya berhasil memikat laki-laki blasteran Belanda itu. Tampan dan tak
pengecut. Sungguh perbedaan yang mencolok dengan laki-laki ini, yang selalu
memujanya dari SMA. Laki-laki yang malang.
“Utari, bagaimana dengan
jawaban atas lamaranku?” Dia mulai merengek seperti anak kecil yang meminta
dibelikan permen.
“Utari, jawab aku? Kenapa kau
diam saja Utari?!”
“Utari?”
“Utari?!!!” Dia menggenggamku
semakin erat dan erat.
Aku menatapnya penuh kejenuhan, berharap aku segera
meledak tersambar petir di siang cerah ini agar berakhirlah penderitaanku
mejadi seonggok berhala lelaki naif ini. Rasanya jika aku dapat lakukan sesuatu
selain mematung diam, aku takkan sudi menerima lamaran lelaki malang ini. Kau
tahu, kegilaan ini semakin memuakkan.
“Cukup Utari, cukup rasanya kau
menghancurkan segalanya!” dia menatapku dengan mata merah seperti orang
kesurupan. Tak pernah ia menatapku seperti ini sebelumnya.
Dia beranjak sejenak dan mengambil pisau pemotong buah
yang terletak tak jauh dari tempatnya menangis. Dia menatapku tanpa berkedip. Layaknya
orang kesetanan, kurasa dia tengah mencapai puncak kemarahannya. Lantaran apa? Karena
aku tak jawab? Sudah malang nasibnya, pemarah dan cukup untuk kukatakan bodoh. Mana
mungkin dia bisa mendengar jawabanku. Dia masih menggeggamku dengan tangan kiri
dan memegang pisau dengan tangan yang lain.
Entah mengapa, ada perasaan bergetar dan sesak. Apakah
aku takut? Bukankah ini yang kuinginkan? Mengakhiri penderaitaan sebagai sebuah
berhala cinta? Dia masih menatapku dengan pandangan itu, seolah aku adalah
penjahat dunia paling kejam dan keji.
Cuiiihhh! Dia meludah dan
kembali menatapku dengan tatapan yang sama.
Berkali-kali aku berusaha tenang, sementara pisau
pemotong semakin mendekatiku. Dalam getar ketakutan yang sesak, sejatinya aku
harus siap dimusnahkan, seperti aku yang harus siap dicumbunya setiap hari. Karena
aku seharusnya hanya bisa diam. Layaknya seonggok wayang. Dalam hitungan
beberapa detik lagi kurasa pisau itu akan menyentuhku dan memilih bagian mana
dulu yang akan tercabik dan terkoyak. Hancur. Mengantarkanku pada sebuah akhir
penderaitaan sebuah berhala cinta. Getar ketakutan semakin terasa nyata. Aku berusaha
menutup semua dengan mematung. Pendengaranku. Penglihatanku. Dan apapun yang
bisa kurasakan saat itu. Aku tak berani menatap matanya, aku tak berani
mendengar suara pisau itu mencabik tubuhku.
***
Apakah ini bau surga? Apakah ini aroma akhir penderitaan
berhala? Aku tak lagi sesak oleh genggaman tangan, aku tak lagi bergetar oleh
tatapan tajam. Aku tak lagi kering? Basah dan anyir. Berlumuran darah. Lelaki itu
memotong nadinya sendiri.
Tangerang, 19 April 2018
Pernahkah
kau berpikir, andai benda-benda yang menjauhkanmu dari Penciptamu, bisa merasa dan bicara. Mungkin mereka takkan
pernah sudi menjadi berhala duniamu.
[1] Tanaman
bunga yang memiliki nama latin Portulacca
grandiflora, biasanya disebut juga tanaman Portulaka, Bunga Pukul Sembilan,
Sutera Bombay, dan lain-lain
[2]
Merupakan sejenis burung pemakan biji-bijian yang memiliki nama latin Lonchura leucogastroides
[3] Wayang
suket adalah bentuk tiruan figur wayang yang terbuat dari rumput (dalam bahasa
jawa disebut suket)
[4] Pangeran
Abimanyu adalah salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra
Arjuna dan Sembadra, yang kemudian nantinya menjadi penerus Yudistura dalam
pewaris tahta Hastinapura
[5] Sebuah
cuplikan lagu berjudul “Tresno Waranggono” oleh Nurbayan yang bercerita tentang
cinta yang tak harus memiliki.
Sukkaaaaakkk
BalasHapus