Kamu Jahat Seperti Belanda
Nasionalisme sejati takkan pernah
tercipta dari sebuah doktrinisasi
“Kok
kamu jahat, seperti Belanda…”
Celotehan
anak-anak SD dalam sebuah angkot C10 jurusan Pondok Bahar-Cengkareng pagi ini
berhasil menghentikan lamunanku. Sungguh menggelitik ‘kamu jahat seperti Belanda’, senyum 3 senti tersungging tak
tertutupi. Dulu, ini pula yang aku pikirkan ketika guruku mengajarkan bahwa
bangsa ini pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa asing. Ketika
pahlawan-pahlawan heroik yang fotonya menghiasi ruang kelasku dari kelas I
sampai kelas VI SD, ketika mereka melawan Belanda untuk Indonesia. Setelah aku
masuk jurusan Sejarah berbagai perspektif baru datang. Belanda memang jahat,
tapi kupikir Residen Lebak, Banten dalam buku Max Havelar juga tak kalah jahat.
Atau misalnya Pangeran Diponegoro ketika melawan Belanda, bukankah ia membela
leluhurnya bukan membela Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Aku dan
rekan-rekan pernah menanyakan kejanggalan ini pada suatu ketika, ‘Mengapa sejarah yang diceritakan sewaktu di
sekolah terpaut berbeda dengan sejarah di bangku kuliah?’. Jawaban yang
kami dapatkan ialah untuk menumbuhkan nasionalisme.
***
Pendidikan
adalah cara terindah membangun suatu peradaban. Pendidikan bukanlah ruang
tertutup yang membutakan seseorang melihat dunia, ia adalah horizon yang tinggi
dan memungkinkan seseorang melihat dunia sesungguhnya. Demikian buku bukanlah
teks rigid yang membuat seseorang kerdil dengan hafalan, melainkan jendela maha
luas yang memungkinkan imaginasi seseorang berenang-renang didalamnya dan guru bak seniman yang mengajarkan ayat
demi ayat kehidupan. Tanpa kebohongan, tanpa doktrinisasi jika ingin menuju
tujuan pendidikan yang hakiki.
Begitu
pula dengan pembelajaran Sejarah dalam pendidikan di Indonesia. Mengenal Sejarah
bangsa akan membuat siswa mengenal bangsanya dan menumbuhkan kesadaran sejarah
yang melahirkan nasionalisme. Namun, menumbuhkan nasionalisme masih dilakukan
dengan mendoktrin kesadaran sejarah bahwa bangsa ini yang paling baik. Siswa diajarkan
mencintai bangsa ini dengan membenci bangsa lain. Bak sebuah film Superhero,
membela sang Superhero dan membenci musuhnya.
Saya
kira hal ini akan membuat kesadaran sejarah yang dibangun akan membosankan,
sejarah perjuangan terkesan lebih dramatisasi seperti dalam film Superhero. Padahal
mengajarkan fakta sejarah atau sejarah dengan sebenar-benarnya tanpa
menutup-nutupi kesalahan-kesalahan bangsa tidaklah mengurangi rasa cinta
terhadap bangsa ini. Kesalahan ini yang membuat siswa belajar berpikir kritis
untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Menumbuhkan kesadaran sejarah yang
melahirkan nasionalisme sejati tanpa doktrinisasi membenci bangsa lain.
Doktrinisasi
membenci bangsa lain sudah seharusnya diganti dengan kesadaran sejarah dengan
mengajarkan sejarah yang sejujur-jujurnya. Tanpa menutup-nutupi dan
menghilangkan bagian-bagian tertentu dalam penyampaiannya. Karena sejarah itu bagai
sebuah untaian dan rangkaian peristiwa tidak hanya bergerak linier yang
terentang dalam waktu. Sejarah sejatinya bersifat dialektis dengan peristiwa
sezamannya.
***
Mereka
masih saja bercanda dan tertawa lepas sambil terus menghilang di balik pintu
gerbang Sekolah Dasar Negeri. Mereka masih saja bergandengan meski prosesi
menyebrang jalan sudah selesai. Dan mereka masih saja menganggap yang jahat
adalah seperti Belanda. Senyum 3 senti kembali tersungging tek tertutupi. Angkot
C10 terus berjalan mengikuti alunan jalanan padat merayap di paginya kota
Tangerang.
Tangerang, 19 Januari 2017
#EduwaMenulis
Komentar
Posting Komentar