Food Security ala Nusantaraku
Negeriku
tak Hanya Butuh Makanan Enak, Sebuah Pengantar..
“Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…” (QS. Al Baqarah:168)
Sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi yang beriringan dengan
modernisasi menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai proses yang tak
terelakkan. Globalisasi yang didorong oleh kemajuan IPTEK sedang memerankan
sebuah revolusi sosial yang merasuki semua sudut kehidupan, tak terkecuali
dalam hal makanan. Berbagai produk impor membanjiri tanah air dengan berbagai
produk makanan, baik bahan mentah maupun bahan jadi. Berlabelkan gaya hidup
‘modern’, rasa dan kemasan produk yang menarik, makanan instans lebih diminati sebagian
masyarakat Indonesia.
Pola
hidup modern kadang kala membuat masyarakat mengabaikan kualitas makanan baik
dari segi nilai gizi maupun kehalalan makanan. Sementara itu, kesenjangan
sosial sebagai salah satu dampak nyata dari globalisasi memungkinkan kalangan
bawah sulit memenuhi kebutuhan hidup secara sekunder, sehingga acap kali
mengabaikan kualitas makanan yang dikonsumsi. Filosofi yang ada di lingkungan
masyarakat bawah adalah ‘yang penting makan’ apakah makanan tersebut layak
dikonsumsi atau tidak hal itu tidaklah penting.[1]
Cukup
miris ketika Indonesia saat ini dikenal dengan negara mayoritas penduduk Muslim
terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk muslim sebesar 207.176.162 jiwa[2],
masih mengabaikan kualitas makanan yang dikonsumsi. Padahal permasalahan
kualitas makanan telah jelas diatur dalam al-Qur’an yang telah ada sejak 1.400
tahun yang lalu. Berbagai upaya pemerintahpun telah dilakukan dalam rangka
membantu masyarakat memilih kualitas makanan baik dari segi nilai gizi maupun
kehalalan, seperti labeling, pemeriksaan makanan dan lain sebagainya. Namun, permasalahan-permasalahan
makanan masih menjadi lingkarang setan yang seolah tak ada habisnya diberitakan
media kepada masyarkat kita.
Food Security Islam dari Masa ke Masa
Sudah bukan lagi
menjadi sebuah rahasia ketika ketentuan sebuah makanan banyak diatur dalam al-Qur’an,
baik tentang buah-buahan dan biji-bijian yang diatur dalam surah al-An’am
(6:99), Surah ar-Rahman (55:10-12); maupun dalam Surah al-Nahl ayat 5, 14, 66,
68 dan 69, serta Surah al-Mu’minum ayat 21 yang mengatur sumber makanan dari
binatang.[3]
Dalam al-Qur’an dijelaskan pula bagaimana makanan di surga dan makanan di
neraka, nampaknya makanan dijadikan satu motivasi kepada manusia supaya
senantiasa taat kepada Allah SWT untuk mendapat balasan surga, dengan salah
satu ganjaran makanan yang sangat lezat. Ini menunjukan isu kepentingan makanan
begitu penting dalam Islam.
Berbagai
kepentingan makanan dalam Islampun telah banyak ditorehkan dalam sejarah.
Misalkan pada cerita Nabi dan Rasul, seperti cerita Nabi Adam a.s yang
menjadikan kelurganya bertani dan mengembala binatang sebagai sumber makanan.
Kemudian ketika Allah mengaruniakan seekor unta betina sebagai mukjizat Nabi
Saleh a.s, yang air susunya tidak pernah kering meskipun senantiasa diperah.
Atau kisah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s yang turut mengisahkan
kepentingan makanan kepada umat manusia, dengan mukjizat air zam zamnya.
Terdapat pula anugerah makanan langit kepada Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s sebagai
mukjizat kerasulannya. Atau kisah Nabi Muhammad SAW bersama umatnya yang harus
menahan lapar karena ketiadaan makanan. Semua kisah tersebut merupakan sejarah
yang tertulis dalam al-Qur’an, menunjukan makanan adalah hal yang penting bagi
manusia.
Di
Nusantara sendiri, sejarah mencatat betapa Islam memperbaiki kualitas
kepentingan makanan. Sebelum Islam datang ke Nusantara, masyarakat Nusantara
merupakan pengkonsumsi daging mentah sisa persembahan leluhur dalam ritual
animisme dan dinamisme.[4]
Masyarakatpun terbiasa mengkonsumsi binatang-binatang seperti ular, semut,
cacing dan semua jenis serangga.[5]
Bahkan digambarkan beberapa makanan kegemaran rakyat Majapahit seperti kodok,
cacing, penyu, tikus dan anjing. Ketika penetrasi agama Buddha di beberapa daerah
di Nusantara mulai meluas, masyarakat Nusantara terbiasa mengkonsumsi bangkai.[6]
Karena dalam ajaran Buddha Theravada membunuh merupakan hal yang dilarang
agama. Pengonsumsian babi juga menjadi favorite hampir di seluruh masyarakat
Nusantara. Dalam kitab Nagara Kertagama dan berbagai Hikayat diceritakan dalam
hal minum selain air putih, arak juga menjadi jamuan wajib sehari-hari rakyat
Majapahit.
Keadaan
berubah ketika Islam mulai menyebar baik secara sporadis maupun secara dakwah
besar-besaran di Nusantara. Islam yang lebih egaliter dan efektif dalam
penyampaian ajaran dan larangan-larangannya, mampu mengubah pola makan
masyarakat Nusantara dalam kurun kurang dari satu abad. Bahkan dalam penyebaran
agama Islam, raja Nusantara akan membunuh semua babi dalam muatan kapal yang
singgah di pelabuhan dan menggantinya dengan kambing dalam jumlah yang sama.
Kini
setelah ilmu pengetahuan semakin maju, maka semakin terbuktilah makanan yang
dilarang dalam Islam merupakan makanan yang memiliki kualitas kepentingan
makanan yang tidak baik, seperti babi yang mengandung banyak cacing pita dan
arak yang mengandung zat adktif yang merusak fungsi otak. Terbukti sejak
beribu-ribu tahun yang lalu hingga detik ini ajaran Islam menunjukan
kepentingan makanan yang berkualitas baik secara jasmani maupun rohani.
Kesimpulan
Islam
sebagai agama rahmatalil ‘alamin
telah membuktikan ajaran-ajaran yang begitu relevan dari masa ke masa, salah
satunya dalam food security atau
kepentingan kualitas makanan. Diawali sejak zaman Nabi Adam a.s hingga
perbaikan kualitas makanan ketika Islam menyebar di Nusantara. Hingga saat ini
Indonesia yang masih dilanda krisis kualitas makanan, sudah seharusnya
menjadikan ajaran Islam sebagai acuan dalam memilih makanan. Bahaya keamanan
pangan ‘yang haram atau yang meragukan’ sudah seharusnya menjadi perhatian
setiap konsumen, produsen dan pemerintah di Indonesia agar food security semakin selaras dengan ajaran Islam.
Tulisan
ini saya persembahkan untuk rekan saya yang banyak berbagi cerita
mengenai dunia kesehatan. Sedikit cuplikan perbincangan kami:
Saya : “Mengapa jurusan kesehatan begitu banyak diminati?”
Dia : “Karena masyarakat negeri ini masih saja krisis kesehatan, penyebabnya ya
makanan yang kurang sehat tentunya didukung dengan faktor lingkungan, blablabla..”
Maka,
saya tertarik mengulasnya di tulisan ini dan kebetulan Allah mengizinkan
tulisan ini lolos lomba IFA.
Terima
kasih untukmu yang menginspirasi.
[1]
Wiku Adisasmitro, Analisis Kebijakan
Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan, (2008, Depok:
Universitas Indonesia), h. 2
[2]
Badan Pusat Statistik, dalam sensus 2010
[3] Jurnal Syariah, Jil. 17, Bil 2 (2009),
h. 302
[4]
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun
Niaga 1450-1680, Jilid I:Tanah di Bawah Angin, (2014, Jakarta: Yayasan
Obor), h. 38
[5]
Anonim, Nagara Kertagama, (1365), h.
106
[6] Op. Cit., h.42
Komentar
Posting Komentar