Budaya Ramah Tamah Nyirih


“Manusia bukan cetakan tunggal mumi adam diatas bumi, yang ditaruh diatas gelas, tanpa sejarah, tanpa keberlanjutan kebudayaan” _Goenawan Muhammad

Sebagaimana dengan alam, sebuah warisan kebudayaanpun tidak akan bisa berkembang dengan sendirinya. Kebudayaan bukan sekedar masalah kemaslahatan, namun juga masalah jatidiri, yang tak lain adalah masalah nilai-nilai. Seperti apa yang diugkapkan Edi Sedyawati “Bangsa merupakan kumpulan dari manusia yang disatukan dengan nilai-nilai yang sama.” Makna kebudayaan pun begitu luas, bahkan saya ingat ketika harus menempuh 4 pertemuan mata kuliah hanya untuk memahami sebuah makna kebudayaan.
            Pelestarian budaya yang banyak digemborkan khalayak, ternyata tidak semudah yang termaktub dalam pikiran atau yang tertuang dalam setiap pidato acara kebudayan. Akulturasi budaya, asimilasi budaya yang diselingi berbagai kepentingan menjadi tantangan yang luar biasa di tengah zaman yang dikata globalisasi ini.
***

Nenek sudah tua, giginya tinggal dua…” Sepenggal syair yang kukira pernah dinyanyikan hampir seluruh anak-anak Nusantara. Kini kembali didengungkan keponakanku yang berusia kurang dari 5 tahun. Rasanya lagu itu tak cocok untuk nenek uyutku yang beberapa tahun lagi menginjak usia satu abad. Diusia yang tak lagi muda, nenek selalu tersenyum dengan gigi hitam yang hanya hilang dua. Adalah mbah Kasni yang banyak dikata orang ajaib karena kesehatannya mampu menutupi kesepuhannya.
Seolah waktu yang memaksa ingatan ini untuk mundur sekitar 10 tahun yang lalu. Selalu seksama melihat nenek uyut meracik sirih, pinang, kapur dan sedikit tembakau yang kemudian dikunyahnya dalam suatu nama yang akrab didengar orang. Adalah nyirih, yang kemudian membuat ludah yang disembur berwarna merah kecoklatan. Hanya mengobati rasa penasaranku, suatu ketika aku harus menangis karena diolok teman karena gigiku merah bekas experiment  mengunyah sirih. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mencobanya hingga detik aku menulis tulisan ini.  
Menurut Anthony Reid, nyirih merupakan budaya ramah-tamah asli Asia Tenggara yang dikenal sebelum abad ke -15 hingga kemudian menyebar ke daratan Cina Selatan dan India Selatan. Makanan yang mengandung narkotika lunak ini menggunakan tiga campuran bahan pokok yaitu sirih dan pinang yang mudah didapatkan di sekitaran pekarangan. Kapur mudah diperoleh dari kerang yang dihancurkan bereaksi secara kimiawi dengan buah pinang menghasilkan alkaloid (arecadaine, areooline dan guvacine) yang menenangkan otak dan sistem syaraf sentral. Menurut Pigafetta penyebab orang-orang menggunakan sirih ialah “sirih menyejukan hati dan kalau mereka berhenti memakannya mereka akan mati.”
Sebuah pengibaratan yang menggambarkan, sebakul bahan nyirih menjadi lebih penting dari makanan. Ketika Bangsa Barat melakukan penjelajahan samudra dan menginjakan kaki di wilayah Nusantara dan sekitarnya, mereka mengenalkan rokok dan cerutu sebagai pengganti nyirih. Meski beberapa daerah ‘mengamalkan’ pengaruh Barat dengan menirunya, namun kearifan lokal nusantara memilih menggunakan tembakau sebagai kombinasi bahan nyirih.
Budaya ramah tamah nyirih terlihat ketika bakul-bakul sirih menghiasi setiap meja tamu sebagai jamuan temu yang berkunjung ke rumahnnya. Dalam Hikayat Pocut Muhammat diceritakan bahwa para prajurit menggunakan sirih untuk mengembalikan kekuatan dan keberanian mereka. Dalam pergaulan sosial, nyirih  berkedudukan sama dengan kopi, teh, rokok atau minuman lainnya dalam dewasa ini.
Dalam upacara ritual arwah leluhurpun, sirih-pinang menjadi hal yang tak terlupakan sebagai salah satu syarat sesaji. Menyirih bersama juga menjadi penting dalam setiap upacara kematian, kelahiran, penyembuhan, dan perkawinan. Siriih-pinang dipercaya menenangkan dan mengharumkan nafas, maka nyirih menjadi ritual pendahuluan yang alamiah sebelum bersenggama. Mencampur buauh pinang, daun sirih dan kapur sedemikian rupa merupakan layanan intim seorang wanita kepada laki-laki sebagai ajakan memulai bercinta.
Terpadunya sirih dan pinang yang menjadi simbol persetubuhan, dengan ‘panas’nya buah pinang diimbangi dengan ‘dingin’nya daun sirih. Selain itu, kelopak daun sirih yang ramping dan panjang, menggambarkan kejantanan sesuai dengan kebundaran buah pinang yang feminim. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum jika nyirih mencegah kerusakan gigi dan penyakit disentri.
Nyatanya setajam itu kebiasaan mbah uyut ku mengunyah sirih-pinang. Kini mbah tak lagi nyirih selain karena bahan yang sulit didapat, mbah juga tak pernah menanyakan bakul sirihnya. Aku begitu menyayangkan ketika kebudayaan nyirih harus berangsur-angsur punah dan akulah salah satu aktor pemunah kebudayaan itu.

Tulisan ini didedikasikan untuk mbah Kasni yang telah mengecap pahit manis kehidupan hampir satu abad. Selalu menjadi inspirasi anak-anaknya dan puluhan cucu, cicit dan udeg-udeg siwurnya.


Rawamangun, 11 Oktober 2016

Cicit yang menimbun rindu


Komentar

Postingan Populer