Sesederhana Makna Revolusi Mak Mun


Sejarah itu bagai sebuah untaian dan rangkaian peristiwa tidak hanya bergerak linier yang terentang dalam waktu. Sejarah nampaknya bersifat dialektis dengan peristiwa sezamannya. Kata seorang dosen pemahaman sejarahpun tidak cukup dengan menggunakan metode historis-hermeneutis, namun juga memerlukan metode sosial kritis yang memungkinkan tumbuhnya sikap kritis ataupun dalam situasi reflektif. Meminjam istilah dari Jurgen Habermas menyebut kesadaran ganda yaitu keadaan dan  atau kesadaran seseorang yang selain kritis terhadap objek diluar dirinya juga kritis terhadap dirinya sendiri.
Sadar atau tidak banyak diantara kita gagap melihat perubahan, termasuk perubahan sejarah. Sejak zaman penjajahan, pergerakan nasional, revolusi nasional, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde baru dan era reformasi kerap kali dianggap sebagai penggalan demi penggalan sejarah yang terpisah. Dimensi perubahan dalam kelanjutan seolah pudar, hasilnya sejarah merupakan penggalan kisah bukan suatu dialog yang menjadikan bahan refleksi, referensi dan orientasi kehidupan kita.
Dialog kesejarahan terkadang memberikan kita lebih dari sekadar pemahaman sejarah itu sendiri. Ini saya alami sendiri ketika menginjakan kaki di kota Keramik, Purwakarta. Jika selama ini revolusi nasional yang telah kita lewati, merupakan rangkaian peristiwa sejarah yang dikonotasikan dengan mempertahankan kemerdekaan melalui jalur senjata dan diplomatic, maka saya mendapat makna lain dari revolusi nasional kali ini.
Revolusi nasional nampaknya terlihat rumit dengan berbagai kumpul aksara yang digaungkan dalam buku-buku perpustakaan. Bahkan dalam sebuah novel ‘Larasati’ yang ditulis oleh seorang penulis legendaris Pramoedya, diungkapkan bahwa kawan dan lawan akan teramat sulit dipahami pada masa ini. Saking semrawutnya penggambaran pada masa ini. Namun, revolusi nampak begitu sederhana dalam sebuah pemaknaan keikhlasan hidup istri mantan seorang TKR (Tentara Keamanan Rakyat) masa revolusi.
Beliau akrab dipanggil Mak Mun, sebuah panggilan yang nampak lebih muda dari orang yang menyandang nama tersebut. Seperti wanita Indonesia lainnya, tergurat jelas sebuah keikhlasan hidup di wajah keriput dengan usia menjelang satu abad. Meski telah lanjut usia, namun indra Mak masih dikata bagus. Mak masih ingat betul ketika barang barang dirumahnya raib ditipu orang-orang yang memakai label ‘mahasiswa’ dan bermukim di rumahnya. Rumah Mak Mun memang cukup luas dan terlampau terjangkau jika dibandingkan dengan home stay lainnya. Oleh sebab kota Purwakarta merupakan kota yang kaya akan budaya, maka rumah Mak Mun kerap menjadi pilihan penginapan oleh rombongan orang-orang kota. Dengan logat khas Sunda disertai senyum sepuluh senti tersungging diantara keripunya pipi, beliau berkata “Tak apa, biar mereka yang ngambil bahagia. Mak mah ga punya, gapapa.”
Terdapat butir yang tertahan dibalik kantung mata yang mengeriput itu, tatkala beliau mengingat mendiang suaminya. Ya, seorang disissi Tuhan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang turut berperang mempertahankan revolusi agar Indonesia menang. Sebuah rumah gaya lama yang tak pernah tersentuh renovasi menjadi salah satu kenangan sebuah kemenangan revolusi. Uang pensiunan sebesar 150k yang diterima beliau setiap bulanpun menjadi satu-satunya penghasilan di hari tua Mak Mun. Nilai yang kerap kali membuatku mengeluh untuk biaya hidup satu minggu, sungguh aku merasa malu yang teramat sangat pada diriku sendiri.
Masih tergambar dengan jelas dalam ingatan Mak Mun, ketika seorang Belanda menanyakan suaminya yang sedang bertugas. Ketika itu pula ia harus berbohong, jika suaminya sedang berjualan keramik di kota. “Tuan Belanda itu ganteng neng, saya selalu dikasih duit setiap kali dia bertanya.” Kadang dalam selingan beliau berkisah, beliau mendongakkan kepala menahan bulir yang hampir pecah dibalik kornea yang menemui usia senjannya. “Dulu bapak waktu masih hidup jualan keramik ke kota, kalau engga ada panggilan tugas negara. Nanti Mak ikutan naik mobil pick up.”
Sesederhana itu revolusi memberikan Mak sepetak rumah yang memberi kami naungan selama di Purwakarta. Menjadi saksi ketika aku menulis kisah ini bersama udara malam tanpa polusi yang semilir membelai sela-sela tiang rumah. Meski terlihat rapuh,  namun rumah kenangangan akan sebuah kemenangan ini masih tetap kokoh mengikuti arus waktu. Aku yakin ini akan menjadi pengalaman yang tertanam kuat dalam ingatan kami. Sebuah pelajaran hidup akan sebuah keikhlasan seorang istri Tentara Keamanan Rakyat. Bersama tongkat yang menompang ketika berdiri, beliau jalani perputaran kehidupan tanpa pernah berharap pamrih jasa suaminya untuk sebuah kemenangan revolusi negeri yang telah merdeka ini.  


Desa Anjun, Purwakarta,
10 September 2016

(Kisah dalam sebuah perjalanan penelitian sebuah Badan Semi Otonom Pusat Studi Mahasiswa (BSO Pusdima), FIS, UNJ disebuah desa ‘legendaris’ pembuat keramik)



Komentar

Postingan Populer