Krisis Pendidikan Karakter Bangsa: Terlalu Ngoyo Mengejar Kognitif
Pendahuluan
Beberapa tahun
belakangan ini, media seringkali menyuguhi ‘tokoh’ penggelapan uang negara,
menggendutan rekening, suap menyuap atau apalah sebutan dalam bahasa
jurnalistik lainnya. Ambilah contoh kasus korupsi yang sangat populer Gayus
Tambunan atau Angelina Sondakh atau berbagai kasus korupsi yang dirasa tak ada
habisnya melanda tanah ini. bagaikan sebuah penjajahan moral atas ideologi
matrealistis yang tengah melanda bangsa ini. Belum lagi kasus tawuran pelajar
yang semakin marak. Jika kita analisi bukankah mereka yang korupsi adalah orang
yang berlatarkan pendidikan tinggi dan siwa yang tawuran merupakan orang-orang
yang sedang dalam binaan sekolah. Namun, mengapa orang berpendidikan tersebut
justru terlibat dalam perbuatan memalukan seperti itu? Jawaban tegas dan jelas
yang pasti dikatakan semua orang adalah: mereka tak berkarakter.
Pendidikan karakter
mulai dianggap penting dan mendapat perhatian publik sejak tahun 2000an. Bahkan
3 tahun belakangan ketika Peringatan Hari Pendidikan Nasional, selalu di
gembor-gemborkan pentingnya pendidikan karakter. Ditambah lagi dengan di
berlakukannya kurikulum 2013 di sebagian sekolah di Indonesia, merupakan suatu
gebrakan untuk lebih mementingkan pendidikan karakter.
Apa Kabar Karakter
Indonesia Hari Ini?
Indonesia merupakan
negara yang kaya raya, tidak hanya sumber daya alam namun juga sebenarnya
Indonesia kaya akan sumber daya manusia. Serasa malu bangsa ini ketika masih
banyak rakyat Indonesia kelaparan sedangkan Indonesia memiliki sawah
berhektar-hektar. Malu bangsa ini ketika masih banyak orang tinggal di bawah
kolong jembatan sedang banyak pula yang dengan bangga membangun istana tanpa
dihuni. Sebenarnya salah siapa dengan karakter bangsa yang semakin carut-marut
ini?
Dulu Indonesia dikenal
dengan negara yang ramah, negara yang memiliki simpati yang sangat tinggi.
Namun, kini jika kita menengok wajah karakter orang Indonesia yang mulai tak peduli,
mulai memikirkan diri sendiri dan golongan, berlomba-lomba dalam kepandaian
namun meninggalkan budi pekerti yang sejak dulu menjadi pedoman kita. Kini
orang-orang berlomba-lomba dalam hal kognitif, alhasil segala macam cara
dilakukan. Banyak kita melihat siswa
yang terlalu dituntut orang tua dan gurunya untuk bisa dan benar. Tak jarang
kita melihat siswa yang mengahalalkan segala cara untuk memenuhi keharusan itu,
mereka menyontek ketika Ujian, mereka membeli kunci jawaban ketika UN atau
perbuatan curang lainnya. Mereka menanam bibit-bibit korupsi penghancur bangsa
di kemudian hari nanti.
Jika kita menegok ke
belakang betapa sejak tahun 1940an seseorang bernama Ki Hajar Dewantara telah
mencetuskan konsep-konsep pendidikan yang luar biasa. Tri sentra pendidikan
rupanya mulai dilupakan bangsa ini.ing
ngasro sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani rupanya kini hanya wacana. Kini namanya hanya
dikenal sebagai Bapak Pendidikan namun konsep-konsep pendidikannya semakin
hilang tergerus zaman.
Konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara jika kita pahami dengan cermat merupakan konsep yang sekarang
digunakan oleh negara Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di
dunia. Finlandia tidaklah mementingkan rangking-rangking, tidaklah menyalahkan siswa
jika salah, dan tidaklah membedakan mana yang pintar dan mana yang kurang
pintar (Top of the Class - Fergus Bordewich). Tetapi
mengapa Indonesia justru melupakan konsep tersebut.
Indonesia
terlalu ngoyo dalam pendidikan,
terlalu menuntut kognitif-kognitif dan kognitif. Kurang lebih selama 20 tahun
sebelum tahun 2000an Indonesia telah salah arah dalam menetukan arah
pendidikan. Mereka yang korupsi dan mereka yang tawuran adalah korban dari ke ngoyo-an Indonesia. Konsep tri sentra
pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah dan masyarakatpun dirasa tidak lagi
bekerja sama dalam membangun pendidikan Indonesia. Mereka cenderung kurang
perduli jika tidak ada hubungan suatu golongan atau keluarga.
Dalam
pendidikan keluargapun, masih banyak orang tua yang salah arah. Mereka akan
memaksa anak mereka untuk pintar dalam kognitif meski masih dalam usia dini.
Pendidikan sekolahpun, masih ada guru yang menuntut siswa untuk pintar. Alhasil
Indonesia kelebihan orang-orang pintar dalam kognitif namun lemah dalam karakter.
Mungkin
butuh waktu hingga 20an kedepan untuk melihat pendidikan karakter yang saat ini
sedang digalakan. Pendidikan karakter yang terdapat dalam kurikulum 2013. Untuk
sementara ini Indonesia sedang menuai hasil dari kesalahan arah pendidikan,
dengan hanya menonjolkan sisi kognitif.
Kesimpulan
Perilaku
orang berpendidikan yang semakin tak berkarakter di Indonesia saat ini
disebabkan oleh kesalahan arah pendidikan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun
yang lalu. Mereka adalah hasil panen masa lalu yang kini dituai. Kini saat nya
kita membenahi kesalahan tersebut, agar Indonesia tidak lagi terlalu
terburu-buru memburu kognitif. Dan tidak pula, melupakan konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara. Meski mungkin Indonesia membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun
untuk membenahi ktisis karakter ini, setidaknya kita terus berusaha mengembalikan
eksistensi pendidikan karakter bangsa dalam hidup setiap insan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar